Salah satu tugas utama Advokat menurut Soemarno P. Wirjanto adalah sebagai juris-consult, memberi nasihat hukum di luar peradilan, membantu dengan atau membuat akta-akta hukum, perdamaian hukum dan lain-lain [Djoko Prakoso, Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP, Ghalia Indonesia : Jakarta, 1986, hlm. 38].
Mengutip pendapat Binziad Khadafi sejalan dengan pendapat Soemarno maka diantara tujuan dari keberadaan Advokat adalah untuk mengantarkan kesadaran hukum masyarakat yang merupakan korban ketidakadilan dan melancarkan aktivitas policy reform dengan mengartikulasikan berbagai cacat dalam hukum positif dan kebijakan hukum yang ada, mengkiritisi dan memberikan alternatif-alternatif [Advokat Indonesia Mencari Legitimasi : Studi tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia : Jakarta, 2001, Hlm. 211]:
Jujur, penulis merasa heran mengetahui bahwa mayoritas Advokat tidak memahami peranannya secara politis, padahal Advokat mestinya bertindak sebagai ahli hukum yang ikut mengembangkan hukum sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, disisi lain menjadi rekanan bagi pemerintah dan badan/lembaga/institusi lainnya, dapat membentuk hukum diIuar undang-undang.
Mereka tidak menyadari bahwa ketidakpedulian mereka atau apatisme mereka tersimpul dari praktik bisnis kepengacaraan yang mereka jalankan seperti biasa, yaitu memfungsikan status Advokat sebagai lobbyist. Seringkali membantah, memprotes, megkritisi bahkan bersuara keras namun sebenarnya hanya sebagai pengecut yang mencoba bermain aman dan yang terpenting adalah kekayaan yang dikumpulkannya (entah baik atau tidak) tetap aman.
Hanya berlaku sebagai kulit luar daripada advokasi, sebagai pengacara yang berkarakter sangat identik dengan pokrol bambu, keras diluar namun kosong didalam, berwawasan terlampau sempit yang hanya bermodal pengalaman yang tidak pernah tahu apa yang terjadi diluar zona amannya, artinya belum memenuhi kualifikasi selaku Advokat yang jangkauannya sedemikian luas dalam ketatanegaraan.
Wajarlah profesi ini teropresi, bahkan penulis yakin mereka tidak tahu bahwa profesi ini sedang terdegradasi yang akhirnya tidak beda dengan makelar atau perantara pengisi hukum acara belaka, meski secara finansial cenderung stabil.
Idealnya dalam tataran kenegaraan fungsi lobbying ini termasuk juga dalam domain pembentukan perundang-undangan melalui badan-badan pembentuk undang-undang, sebagai regulatory agencies.
Bahkan jauh sebelumnya Hans Kelsen mengatakan bahwa organ negara itu setidaknya menjalankan salah satu dari 2 fungsi, yaitu fungsi menciptakan hukum atau fungsi yang menerapkan hukum. [Hans Kelsen, General Theory of Law and State (New York: Russel & Russel, 1973), hal. 192]
Marcus Tullius Cicero menyatakan bahwa Advokat “tak diragukan menjadi tempat ramalan nasib seluruh masyarakat…” Artinya, profesional selalu mengandaikan lebih dari keahlian, karena dalam penyelesaian tugas secara profesional semua faktor yang relevan, juga yang tidak spesifik bagi bidang profesinya, diperhatikan. [Daryl Koehn, Landasan Etika Profesi, 2004:12]
Ini menjadi penting sebab selain karena keahlian juristconsults juga mereka duduk di “consilium” juga pada saat yang sama sebagai “praetor” dan magistrates yang di dalamnya yaitu praetor itu adalah yang akan melaksanakan hukum. Jadi Advokat sejak awal selain “seorang ahli yang menjual jasa hukum” juga lebih jauh melakukan peranan yang lebih luas, membangun hukum dan penasihat pemerintah.
Sejarah dan etika dapat berfungsi sebagai pengarah perilaku dan pikiran para praktisi hukum yaitu Advokat – meester in de rechten (tuan dalam hukum). Kebutaan dan ketidakpedulian akan sejarah Advokat menghasilkan teknis kepengacaraan yang tidak akan ada bedanya dengan perilaku pokrol yang belajar dari kebiasaan belaka.
Tanpa pengetahuan tentang sejarah Advokat dan kedudukannya dalam dalam tata-negara maka kita tidak tahu apa yang kita lakukan sebagai negarawan, sikap masa bodoh itu sama seperti pengacara antek penjajah dan pesuruh penguasa lokal.
Mr. Sunario Sastrowardoyo saat menjadi pembicara di Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 di Jakarta, demikian halnya Ahmad Soebardjo yang sebenarnya merumuskan narasi proklamasi yang kemudian dikutip sebagai naskah oleh Soekarno dan Hatta, dan tentunya kemerdekaan akan percuma tanpa kedaulatan Negara yang akhirnya dicapai melalui Perjanjian Roem-Royen (Mr. Mohammad Roem, Mr. Ali Sastroamidjojo, juga Dr. Leimena, Ir. Joeanda, Prof. Soepomo, Johannes Latuharhary.
Inilah jejak dan bukti sejarah dimana sebenarnya Advokat adalah pengacara negara, padahal saat itu sudah ada Kejaksaan dengan beberapa periode kepemimpinan, yaitu Mr. Gatot Taroenamihardja (12 Agustus 1945 – 22 Oktober 1945), Mr. Kasman Singodimedjo (8 November 1945 – 6 Mei 1946), Mr. Tirtawinata (22 Juli 1946 – 1951), inila peran dan fungsi pengacara Negara yang pertama kali justeru diemban oleh Advokat.
Prof Dr Dimyati Hartono SH dalam seminar sehari 25 Agustus 1997 di Semarang menyangkut lembaga Kejaksaan sebagai Kantor Pengacara Negara, bahwa tidaklah tepat bila jaksa sebagai pengacara negara dan Kejaksaan dilembagakan sebagai Kantor Pengacara Negara. Dalam arti, pelaksana tugas-tugas yang bersifat hukum publik yang dapat menimbulkan conflict of interest.
Bahkan jelas, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II tahun 2004 (hal.112) bahwa Kuasa/Wakil Negara/Pemerintah dalam suatu perkara perdata berdasarkan Staatsblad 1922 No. 522 dan Pasal 123 ayat (2) HIR poin pertama menyebut Pengacara Negara yang diangkat oleh Pemerintah sedangkan Jaksa eksplisit disebut tersendiri pada huruf b, artinya, antara pengacara negara yang diangkat oleh pemerintah dengan Jaksa adalah entitas yang berbeda. Merujuk pada frasa normatif tersebut jelas bahwa entitas tersebut berada diluar pemerintah.
Apalagi dalam Keputusan Presiden No. 204 Tahun 1960, di mana Kejaksaan dilepaskan dari pengertian “Kejaksaan pada Pengadilan”, dan tidak lagi sekedar alat pelaksana kekuasaan pemerintah di bidang peradilan, melainkan juga merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri, disinilah akar konflik kepentingan.
Malah Pipit R. Kartawidjaja (2005) pada intinya mengatakan terjadi kekeliruan dalam menterjemahkan pemerintah sebagai negara yang berimplikasi setiap tugas pemerintah adalah atas nama negara yang menjadi embrio kesewenangan fungsional.
Dengan demikian, penulis lebih cenderung pada Siracuse Principles tahun 1981 yang mana secara eksplisit menyebut suatu peradilan “independen dari pengaruh eksekutif dan legislatif” yang mempunyai yurisdiksi terhadap semua hal yang berkaitan dengan hal-hal di bidang peradilan, baik didalam maupun diluar pengadilan.
Sekarang, penulis mengajak pembaca untuk sedikit mengupas tahun 2024, tahun politik, pemilu dan tahun dimana banyak tatanan penting hukum yang akan terganggu, tahun yang menjadi poros sejarah dan pemicu era baru.
Penulis memulai dengan pertanyaan, “mana yang bukan hukum?” Ketika kita bicara tentang politik maka itu adalah nama lain dari hukum tata negara, mereka adalah dua sisi dari sekeping mata uang.
Ketika kita bicara Demokrasi, akan terjadi kesepakatan politik dan produknya berupa peraturan perundang-undangan, artinya juga berbicara tentang Undang-Undang sehingga mayoritas cenderung memerintah.
Dan ketika bicara tentang Republik dimana minoritas diberi hak menuntut klaim-klaim hak yang tidak boleh diganggu-gugat sehingga pasti menyentuh ranah Konstitusi, sehingga minoritas dilindungi dari kekuatan mayoritas.
Pembuat UU adalah Presiden bersama DPR yang tidak bisa dilepaskan dari faksi-faksi politis sehingga sangat dikenal bahwa UU adalah produk kesepakatan politik, lalu dimana Advokat memposisikan diri?
Peraturan perundang-undangan sebagai produk kesepakatan politik makin menguat akarnya ketika politik melakukan intrusi ke ranah Yudikatif melalui judisialisasi politik sehingga tujuan kesepakatan politik mendapatkan hegemoni, namun ketika Advokat memasuki wilayah tersebut disebut interupsi, lalu dimana kewenangan Advokat?
Secara Geopolitis, ada lebih dari 60 Negara yang akan menggelar Pemilihan Umum yang tersebar di Asia, Afrika, Amerika, Eropa dan Oseania. Yang mana hal ini berarti akan terjadi pembaruan kesepakatan politik dunia, pembaruan doktrin dan ajaran hukum.
Pertama kali dalam sejarah bersamaan dengan bonus demografi di Indonesia yang selama ±23 tahun akan diisi dengan produktivitas dan pemikiran serta perilaku dari generasi yang sama ditengah laju perkembangan komunikasi terbuka netizen, yang akan melepaskan banyak batasan, maka, bagaimana masa depan hukum dunia, khususnya di Indonesia?
*Adv. Agung Pramono, SH, CIL