Larangan pernikahan beda agama yang diatur di UU Perkawinan kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh seorang warga Mapia Tengah, Dogiyai, Papua, Ramos Petage. Di mana Ramos Petage beralasan UU Perkawinan menyebabkan dirinya yang Katolik tidak bisa menikah dengan wanita muslim.
“Menyatakan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan tidak dapat dan tidak memiliki pengaturan terhadap perkawinan beda agama sehingga perlu menambahkan pengaturannya,” pinta Ramos Petage sebagaimana dikutip dari salinan permohonan yang dilansir MK, Senin (7/1/2022).
Yaitu menjadi:
Pasal 2 ayat 1:
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan pada kehendak bebas para mempelai dan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 2 ayat 2:
Perkawinan dengan berbeda agama dan kepercayaan dapat dilakukan dengan memilih salah satu metode pelaksanaan berdasarkan pada kehendak bebas oleh para mempelai dengan pengukuhan kembali di muka pengadilan.
Pasal 2 ayat 3:
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ramos menyadari, gugatan serupa pernah diajukan pada 2015 namun tidak membuahkan hasil. Namun Ramos berasumsi gugatannya berbeda dengan gugatan 2015 lalu sehingga layak dikabulkan.
“Karena tentunya terdapat perbedaan dalam hal konstitusionalitas yang menjadi alasan diajukannya permohonan,” ujar Ramos Petage.
Gugatan yang dimaksud yaitu perkara Nomor 68/PUU-XII/2014. Judicial review itu diajukan Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi dan Luthfi Sahputra. Hasilnya, MK menolak permohonan keempatnya.
“Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” demikian bunyi putusan MK yang diketok pada 18 Juni 2015.
MK menolak pernikahan beda agama dengan alasan perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia. Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan.
“Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan,” tutur MK.
Perkawinan menurut UU 1/1974 diartikan sebagai hubungan lahir batin yang terjalin antara seorang pria dan seorang wanita yang diikat oleh tali pernikahan dan menjadikan status mereka sebagai suami istri. Perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama atau kepercayaannya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan,” urai MK.
Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir tersebut merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat, sedangkan sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.
“Bahwa ikatan lahir dan batin dalam sebuah perkawinan juga merupakan bentuk pernyataan secara tegas bahwa seorang pria dan seorang wanita ingin membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” tutur MK.
Selain itu, kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebab itu, agama menjadi landasan dan negara mempunyai kepentingan dalam hal perkawinan.
“Agama menjadi landasan bagi komunitas individu yang menjadi wadah kebersamaan pribadi-pribadi dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa serta turut bertanggung jawab terwujudnya kehendak Tuhan Yang Maha Esa untuk meneruskan dan menjamin keberlangsungan hidup manusia,” beber MK dalam putusan yang diketok oleh Hamdan Zoelva, Arief Hidayat, Anwar Usman, Aswanto, Wahiduddin Adams, Ahmad Fadlil Sumadi, Patrialis Akbar, Muhammad Alim, dan Maria Farida Indrati.
Negara juga berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan perkawinan. Secara khusus, negara berperan untuk memberikan perlindungan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah yang merupakan wujud dan jaminan keberlangsungan hidup manusia.
“Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan Undang-Undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara,” kata MK menegaskan.
Di putusan itu, hakim konstitusi Maria Farida Indrati berpendapat berbeda. Maria Farida Indrati setuju MK menolak permohonan tetapi dengan dasar pemikiran yang berbeda dengan majelis.
“Saya berpendapat bahwa memang benar Undang-Undang a quo telah menimbulkan berbagai permasalahan khususnya terhadap pelaksanaan perkawinan beda agama, bahkan menyebabkan terjadinya penyelundupan hukum karena ketidakpatuhan warga negara terhadap hukum negara,” ujar Maria Farida Indrati. DETIK KLINIKHUKUM