Hukumonline.com – Boleh dibilang, tonggak sejarah mediasi di Indonesia dimulai dengan dibentuknya The Jakarta Initiative Task Force (JITF) atau lebih dikenal Satuan Tugas Prakarsa Jakarta sekira November 1998. Tujuan pembentukan lembagaad hoc tersebut, salah satunya untuk membantu penyelesaian utang perusahaan di Indonesia dan Asia karena krisis ekonomi.
Alasan lain di balik pembentukan lembaga yang bernaung di bawah Komite Kebijakan Sektor Keuangan yang kala itu diketuai oleh Menteri Koordinator Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro adalah minimnya pengalaman perusahaan dan bank nasional menyelesaikan utang kepada kreditur di dalam dan luar negeri yang mencapai AS$120 miliar. Lima tahun beroperasi, Satgas Prakarsa Jakarta akhirnya dibubarkan pada 18 Desember 2012 dan sebagai gantinya dibentuk Pusat Mediasi Nasional (PMN).
Direktur Eksekutif PMN, A Fahmi Shahab mengatakan bahwa pasca berakhirnya tugas Prakarsa Jakarta, PMN bukanlah satu-satunya lembaga yang memberikan jasa penyelesian sengketa melalui mediasi mengingat PMN bukan sebagai lembaga yang meneruskan tugas Prakarsa Jakarta. Hanya saja, PMN serta beberapa lembaga serupa boleh dibilang lembaga mediasi yang paling tua terbentuknya.
“Kita punya pengalaman mediasi sudah lama sejak tahun 2000. Anggota tetap PMN adalah alumni dari Satuan Tugas Prakarsa Jakarta yang tahun 2003 berakhir,” kata Fahmi saat diwawancara hukumonline di Jakarta pekan lalu.
Penelusuran hukumonline, tercatat ada sejumlah lembaga baik yang memberikan jasa mediasi ataupun sertifikasi pelatihan mediator selain PMN, diantaranya Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT), Badan Mediasi Indonesia (BaMI), Asosiasi Mediator Indonesia (Amindo) serta lembaga mediasi lainnya. Seluruhnya, telah mendapat akreditasi dari Mahkamah Agung (MA) untuk menggelar pelatihan dan sertifikasi mediator.
Dikatakan Fahmi, semakin banyaknya lembaga yang berwenang menelurkan calon-calon mediator mestinya berdampak pada gaung mediasi yang semakin populer di Indonesia. Ambil contoh misalnya, PMN saja telah berhasil mengeluarkan hampir 1.400 mediator yang kini tersebar di seluruh Indonesia. Bisa diasumsikan, berapa jumlah potensi mediator-mediator yang ditelurkan oleh lembaga lain selain PMN?
“Syarat mediator hanya ikut pelatihan dan lulus ujian, tidak ada syarat lain. Tidak harus sarjana hukum dan itu berlaku di banyak tempat di dunia. Siapapun bisa jadi mediator asalkan di-training dan lulus ujian, satu tahap aja. Rata-rata 40 jam. Kalau yang nilainya kurang dari 70 tidak lulus,” katanya menjelaskan.
Ironisnya, potensi jumlah besar yang dimiliki tidak berbanding lurus dengan kepopuleran penyelesaian lewat jalur mediasi itu sendiri. Anggapan itu mungkin belum tentu benar, tetapi tidak salah juga mengingat belum adanya data statistik yang berhasil memotret berapa tren penggunaan jalur mediasi di Indonesia beberapa tahun belakangan. Karenanya, ia usul agar wacana menjadikan mediator sebagai sebuah profesi yang bernaung dalam wadah organisasi profesi agaknya menjadi urgensi. “Semakin banyak mediator maka gaung mediasi semakin berkembang,” sebutnya.
Setidaknya, Fahmi menyebutkan beberapa hal pentingnya wadah profesi untuk para mediator di Indonesia. Pertama, sulitnya ‘membumikan’ mediasi karena kondisi sumber daya yang dimiliki lembaga-lembaga yang notabene-nya swasta sangat minim. Sehingga sosialiasi menjadi hal sulit dan tantangan yang selama bertahun-tahun dihadapi oleh lembaga dan mediatornya.
Hal kedua, pentingnya membuat wadah profesi mediator adalah upaya mempermudah mengawal kode etik para mediator yang mana tujuannya untuk melindungi para pihak bersengketa yang memilih jalur penyelesaian sengketa luar pengadilan ini (external dispute resolution). Sebab, selama belum terbentuk wadah asosiasi, perlindungan para pihak dari sikap kurang profesionalitas mediator saat ini dilakukan sendiri oleh masing-masing lembaga. Mungkin karena itupula belum banyak pihak bersengketa yang melirik jalur ini.
“Butuh waktu karena harus mengumpulkan key stakeholder. Sudah beberapa kali pertemuan dirintis untuk asosiasi tapi belum termaterialisasi, mungkin masih ada yang belum terlalu penting,” katanya.
Lebih lanjut, Fahmi mengatakan bahwa PMN sendiri menjalin hubungan baik dengan sejumlah lembaga yang tersebut diatas. Hanya saja, rencana itu masih belum berjalan sesuai dengan harapan. Padahal, PMN menjadi salah satu anggota pendiri Asian Mediation Association (AMA), yakni organisasi profesi mediator se-asia yang didirikan oleh Singapura, Malaysia, Hongkong, dan Filipina, termasuk Indonesia pada 17 Agustus 2007. “Di lokal malah belum, tapi di Asia sudah ada wadah profesi,” katanya.
Beberapa negara anggota AMA sudah menerapkan wadah tunggal profesi mediator. Bahkan, beberapa negera seperti Filipina dan Hongkong disupport baik oleh bar association dan pemerintah mereka. Sementara, Indonesia sendiri sama sekali tidak ada support sama sekali dari Pemerintah untuk mediasi dan mediatornya. Katanya, lembaga mediasi di Indonesia benar-benar murni swasta.
“Ini jadi tantangan supaya mediator harus masuk sebagai asosiasi. Awalnya negara lain masing-masing buat, baru unifikasi. Kita masih mengarah kesana. Kita pengen asosiasi satu aja. Kalau bisa satu, kalau mau mengawal etik dan diakui secara profesi, tapi pasti akan mengarah kesana,” tutupnya.
(Kongres Advokat Indonesia)