Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Asep Iwan Iriawan meragukan Heryanty, anak Akidi Tio dapat terkena pidana karena tidak jadi menyumbang uang Rp2 triliun untuk penanganan Covid-19.
Ia pun menjelaskan bagaimana hukum memandang tindakan Heryanty dalam program Sapa Indonesia Malam Kompas TV, Selasa (3/8/2021).
Menurut Asep, tindakan Heryanty dapat tergolong dua hal. Pertama, hal itu bisa termasuk wanprestasi.
“Apakah perbuatan ini melawan hukum? Bisa dilihat. Secara perdata ketika orang ini berjanji menyerahkan sesuatu, tapi tidak dibayar, itu bisa wanprestasi,” jelas Asep.
Di sisi lain, Heryanty juga bisa disebut berbohong saat tidak jadi memberi sumbangan Rp2 triliun.
“Kalau uangnya tidak ada, berarti bohong. Nah, apakah bohong ini bisa masuk hukum pidana? Harus ada akibat hukumnya karena ini delik materiil,” kata Asep.
Dalam hukum pidana, kata Asep, tindakan berbohong dapat dijerat dengan pasal penipuan atau pasal penyebaran berita bohong.
“Misalnya, penipuan itu bisa jadi salah satu cara karena untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum lewat pembohongan,” ujar Asep.
“Tapi, kata bohong yang lebih umum itu ada di pasal 14 dan pasal 15 (UU No 1 Tahun 1946). Jadi, orang yang menyebarkan berita bohong. Tapi, harus ada akibatnya. Menimbulkan keonaran gak di masyarakat?” imbuhnya.
Menurut Asep, bila Heryanty berbohong, ia tidak menimbulkan keonaran di masyarakat.
“Uang segede gitu diserahkan dalam suatu kotak. Harusnya kan dicek dulu… Bohong doang. Tapi bohong ini ternyata di masyarakat tidak terjadi onar. Menjadi bahan lawakan, bahasa anak gaulnya di-prank. Tapi, yang di-prank pejabat-pejabat tinggi,” lontar Asep.
Meski begitu, Asep tidak menutup kemungkinan Heryanty dapat melanggar hukum perdata karena melakukan wanprestasi.
“Yang jadi masalah, apakah ini wanprestasi secara perdata?” katanya.
Senada dengan Asep, Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto menyoroti pihak Polda Sumsel yang tidak mengecek terlebih dahulu kebenaran sumbangan dari Heryanty dan keluarga Akidi Tio.
“Ada pembelajaran dari kasus ini bahwa ketika ada seseorang memberikan sumbangan, terlebih ini begitu signifikan besarnya, maka perlu tahapan persiapan sebelum seremonial penyerahan,” ujar Benny kepada Kompas TV.
Benny memberi contoh, Polda Sumsel dapat mengecek rekam jejak keluarga penyumbang, legalitas uang, hingga keberadaan dana dan bisakah dana itu dipindahkan.
“Bahkan, kalau perlu, ada pernyataan bahwa uang itu legal atau tidak, berasal dari hasil kejahatan pencucian uang dan sebagainya,” terang Benny.
Dengan itu, orang tidak lagi bertanya-tanya karena uang sumbangan sudah jelas akan diberikan.
“Nah, (kasus) sekarang terjadi setelah prosesi penyerahan diekspos besar-besaran, baru dicek,” kata Benny.
Berdasarkan pengalamannya pribadi, Benny mengatakan, banyak kasus penipuan dengan kedok mengurus harta karun.
“Ketika kami tugas di Interpol, banyak orang meminta surat keterangan tidak terlibat sindikat narkoba, teror dan sebagainya. Alasannya untuk mengurus harta karun. Saya katakan, itu penipuan semua. Jadi, jangan mudah percaya,” pungkas Benny. KOMPASTV