JAKARTA, KOMPAS.com – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP) mengatur tentang ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law.
Anggota Panja RKUHP DPR Nasir Djamil mengatakan, ketentuan hukum yang hidup di masyarakat merupakan hukum adat yang saat ini masih berlaku.
Artinya, hukum adat yang masih dijalankan dan dipraktikkan oleh suatu masyarakat hingga saat ini.
“Tentu saja living law itu hukum yang masih hidup di masyarakat. Bukan hukum yang sudah mati kemudian dhidupkan kembali,” ujar Nasir saat dihubungi Kompas.com, Jumat (30/8/2019).
Pasal 2 ayat (1) RKUHP pada intinya menyatakan, KUHP tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam ketentuan pidana.
Diminta Dihapus Kemudian, Pasal 2 ayat (2) menyebut hukum yang hidup dalam masyarakat tetap berlaku di daerah hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini, sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, serta asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Kendati demikian dalam RKUHP tidak disebutkan secara spesifik jenis-jenis tindakan dalam hukum adat yang dapat diancam pidana. Nasir menjelaskan, setelah RKUHP disahkan menjadi undang-undang, maka pemerintah akan membuat kompilasi hukum adat dari seluruh daerah.
Pemerintah memiliki waktu selama dua tahun untuk membuat kompilasi hukum adat sebelum RKUHP mulai berlaku. “Jadi nanti masing-masing daerah itu dibuat semacam Perda lalu Perda ini akan dikompilasi menjadi hukum adat dan memang ini butuh biaya besar untuk melakukan penelitian.
Nanti pemerintah mungkin bekerja sama dengan daerah-daerah itu melakukan peneltian terhadap hukum adat yang sedang berjalan selama ini,” tutur dia. Selain itu, lanjut Nasir, RKUHP memberikan kewenangan bagi polisi dan jaksa untuk menegakkan hukum adat.
Masih Dapat Berubah Sebab, dalam Pasal 598, setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana. Namun pasal tersebut masih menjadi perdebatan antara tim panja pemerintah dan DPR.
Menurut Nasir, pemerintah berargumen bahwa polisi dan jaksa memiliki kewenangan menegakkan hukum adat, bukan masyarakat adat. Sementara, di beberapa daerah sudah memiliki peradilan adat yang dibentuk oleh masyarakat adat itu sendiri.
“Tapi memang dalam menegakkan hukum adat itu tetap dilakukan oleh polisi dan jaksa bukan masyarakat adat. Ini juga jadi persoalan karena ada beberapa daerah yang mereka sudah memiliki hukum adat bahkan sudah punya peradilan adat,” kata Nasir.
Meski ketentuan living law tetap diatur RKUHP, namun pasal tersebut menuai kritik dari organisasi masyarakat sipil. Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai ketentuan living law tidak diatur secara jelas. Akibatnya pasal tersebut justru berpotensi menimbulkan over-kriminalisasi.
“Tidak jelas antara hukum yang hidup di masyarakat dengan hukum adat rentan menimbulkan overkriminalisasi,” ujar Erasmus kepada Kompas.com, Rabu (28/8/2019).
Menurut Erasmus, substansi pasal yang tidak jelas dan ketat akan memunculkan Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif. Di sisi lain, aparat penegak hukum nantinya juga dapat mendefinisikan hukum yang hidup di masyarakat berdasarkan penafsirannya sendiri tanpa batasan yang jelas.
“Akan ada paling tidak 514 KUHP lokal tanpa kejelasan mekanisme evaluasi yang diatur dalam Perda sehingga berpotensi memunculkan Perda diskriminatif,” kata Erasmus. Adapun DPR menjadwalkan pengesahan RKUHP dalam Rapat Paripurna pada akhir September mendatang. Menurut jadwal, Rapat Paripurna DPR akan digelar pada Selasa (24/9/2019).
Baca Juga : Pakar Sebut Pernyataan I Nyoman Wara Bertentangan dengan Hukum