hukumonline.com — Persoalan pemasyarakatan di semua Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) menjadi benang kusut yang tak kunjung usai. Belakangan terakhir beragam peristiwa kerusuhan terjadi di beberapa Lapas. Pangkal persoalannya, salah satunya kapasitas daya tampung berlebihan di lapas. Karena itu, Revisi UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan upaya menyelesaikan beragam persoalan pemasyarakatan di Lapas mulai hulu hingga hilir.
Pernyataan itu disampaikan Ketua DPR Bambang Soesatyo di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (22/11). Bambang mengatakan sudah saatnya UU No. 12 Tahun 1995 direvisi. Selain sudah tidak relevan dengan kondisi pemasyarakatan saat ini, UU Pemasyarakatan dinilai perlu revisi melalui perbaikan di berbagai lini.
“Apalagi permasalahan pemasyarakatan semakin bertambah (kompleks). Selain persoalan over kapasitas, juga suasana lingkungan tak kondusif, sarana dan prasarana yang tak memadai, hingga ketidakprofesionalan para petugas Lapas. Tak jarang, Lapas justru menjadi Kerajaan Kecil terhadap warga binaan pemasyarakatan bagi petugas di Lapas,” kata Bambang.
Ironisnya, berbagai pengaturan subsistem pemasyarakatan terpisah, belum terintegrasi dengan UU 12/1995. Alhasil, sangat berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan disharmoni antar norma hukum. Karenanya, kata Bambang Soesatyo, tak ada alasan menunda-nunda pembahasan revisi UU tentang Pemasyarakatan.
“Sudah waktunya dilakukan revisi UU No. 12 Tahun 1995 untuk membenahi berbagai permasalahan Lapas,” tegasnya. Baca Juga: Catatan ICJR Soal Pemidanaan di 9 RUU Prolegnas
Menurutnya, revisi UU Pemasyarakatan, sebagai jalan membenahi berbagai persoalan pemasyarakatan. Misalnya, terwujud pelayanan lapas atau rumah tahanan negara (rutan); rumah penyimpanan benda sitaan negara (rupbasan) hingga balai pemasyarakatan (bapas) yang lebih baik.
Seperti diketahui, RUU tentang Perubahan atas UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2019 dengan nomor urut 34 dari 55 RUU. “DPR telah menerima Surat Presiden (Surpres) dari pemerintah pada Jumat (16/11) pekan lalu dan RUU ini merupakan usul pemerintah.”
Setelah mengantongi Surpres, kata Bambang, DPR bakal mengelar rapat badan musyawarah (Bamus) untuk menentukan alat kelengkapan yang bakal membahas RUU tersebut. “Bisa jadi, RUU ini bakal dibahas Komisi III atau mungkin Badan Legislasi (Baleg). Semuanya bakal diputuskan dalam rapat Bamus.
Menurutnya, pemerintah bakal diwakili Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB). Kedua institusi itu ditunjuk mewakili pemerintah menjadi mitra kerja DPR dalam membahas RUU Pemasyarakatan.
Dia berharap RUU tersebut dapat dibahas dan disahkan menjadi UU sebelum berakhirnya masa jabatan DPR periode 2014-2019. Dengan begitu, RUU ini diharapkan bisa mengatasi berbagai persoalan di Lapas hingga tata kelola pemasyarakatan dalam cakupan yang lebih luas.
Anggota Komisi III DPR, Masinton Pasaribu mengamini pandangan Bamsoet. Menurutnya, pengaturan pemasyarakatan perlu diatur lebih ketat. Misalnya, penanganan pemasyarakatan perlu dilakukan satu institusi atau lembaga khusus, bukan lagi dikelola oleh direktorat jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan yang merupakan unit dari Kemenkumham.
“Entah semacam badan, supaya bisa memutus rantai birokrasi yang agak rumit. Maka perlu dipertimbangkan secara kelembagaan,” harapnya.
Selain itu, dalam RUU mesti mengatur soal penyiapan perangkat atau aparatur Lapas yang memiliki dedikasi tinggi untuk dapat diberikan insentif oleh negara. Dengan demikian, adanya penghargaan terhadap aparatur Lapas yang mengabdi dengan dedikasi tinggi dapat menghindari terjadinya praktik menyimpang dalam menjalankan tugasnya.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu menegaskan sebagai anggota Komisi DPR yang membidangi hukum siap membahas RUU tersebut. Namun berbeda dengan Bamsoet yang optimis, Masinton malah pesimis bakal dapat merampungkan pembahasan RUU Pemasyarakatan hingga disahkan menjadi UU sebelum habisnya masa jabatan DPR periode 2014-2019.
“Pembahasan RUU ini saya khawatirkan bisa rampung atau tidak? Kalau tidak rampung dalam tahun ini, paling tidak periode berikutnya dalam Prolegnas Prioritas,” katanya.
Terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju berpandangan pemasyarakatan menjadi permasalahan serius di Indonesia. Pangkal persoalan, mulai dibenah kondisi over kapasitas yang semakin memperihatinkan. Karenanya, perlu penguatan konsep pembinaan di luar lapas yang belum terakomodir dalam UU 12/1995
“Termasuk revitalisasi bagi lembaga-lembaga pengampu pemasyarakatan saat ini,” katanya.
Baca Juga : MK Diminta Tafsirkan Aturan Remisi dan Pembebasan Bersyarat bagi Justice Collaborator