Jakarta, Beritasatu.com – Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono mengibaratkan kekuatan terorisme di Indonesia seperti puncak Gunung Krakatau. Menurut dia, kekuatan terorisme lebih besar yang tidak tampak dibandingkan yang tampak.
Hal itu disampaikakan Hendropriyono dalam menanggapi kasus penikaman Anggota Intel Brimob Bripka Marhum Frence hingga tewas oleh Tendi Sumarno. “Terjadinya lagi penikaman terhadap anggota intel Brimob Bripka Frence oleh Tendi Sumarno menunjukkan bahwa kekuatan terorisme di Indonesia berbentuk seperti puncak Gunung Krakatau di permukaan air laut. Berarti yang belum terlihat adalah badan sampai kaki gunung. Yang pasti lebih besar daripada puncaknya,” kata Hendropriyono dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (11/5).
Dia mengatakan kondisi keamanan negara dan bangsa Indonesia sudah pada satu titik kritis, yang sewaktu-waktu dalam keadaan rawan, seperti pemilu, dapat meluluhlantakkan segenap bangunan infrastruktur kenegaraan. “Keadaan sekarang ini sudah harus menempatkan keselamatan rakyat sebagai hukum yang tertinggi, di atas semua aturan, termasuk perlindungan HAM individu bagi para teroris,” kata dia.
Menurut Hendropriyono, pada masa damai atau normal, perlindungan HAM harus menjadi prioritas. Namun, kata dia, dalam situasi yang guncang, keselamatan rakyat merupakan satu-satunya hukum yang tertinggi. “Semua konsekuensi yang menyangkut hukum dan HAM secara otomatis beralih kepada Pemerintah. Sehingga, sebagai alat negara, Polri sudah bebas dari belenggu aturan apa pun,” kata dia.
Dia juga mengutio kata-kata seorang filsuf, Cicero, bahwa jika hukum telah bisu dalam menegakkan keselamatan umum, bahaya yang terjadi adalah senjata saling berbicara. “Kekacauan seperti itu akan menempatkan kita pada titik terendah keselamatan bersama yang sangat sulit untuk dihentikan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Hendropriyono mengatakan, cara penangkapan orang yang dicurigai polisi harus langsung diborgol kedua tangannya ke belakang, seperti yang dilakukan oleh polisi di negara besar penggagas dan penjunjung HAM. Hanya untuk orang cacat dan lanjut usia saja posisi kedua tangan yang diborgol dapat di depan tubuhnya.
“Satu-satunya syarat bagi polisi di negara besar untuk melakukan hal itu adalah menyampaikan satu peringatan yang disebut Miranda warning atau Miranda rights. Istilah itu berlaku sejak 1966 ketika terjadi kasus penangkapan seorang bernama Miranda, dia mempunyai hak tidak menjawab sampai didamping pengacara,” ungkap dia.
Kemudian Hendropriyono menjelaskan “Peringatan Miranda” dalam kasus pemeriksaan Tendi dalam kasus penikaman Bripka Frence. “Apabila orang seperti Tendi Sumarno itu sudah sampai di kantor Satintel Mako Brimob, dia bisa saja diinterogasi. Namun, tetap mempunyai hak untuk tidak menjawab sampai ia didampingi oleh pengacara. Apabila ternyata dugaan keliru, Tendi Sumarno dapat secara serta-merta dilepas kembali. Dalam menjunjung HAM, pemerintah dan alat-alat negara, terutama Densus 88 Polri, sudah cukup memenuhi aturan HAM yang bersifat universal,” ujar dia.
Baca Juga : PBB Desak Myanmar Hukum Pelaku Serangan Rohingya
[…] Baca Juga : Hendropriyono: Terorisme Seperti Puncak Gunung Krakatau […]