Kasus seperti perusahaan robot trading ilegal DNA Pro memang sedang menjadi salah satu trending topic di masyarakat tetapi bukanlah terkait masalah hukumnya melainkan bagaimaina cara kerja seperti itu yang dapat menghasilkan banyak sekali uang secara instan.
Terkait dengan masalah hukumnya, Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI), Adv. Tjoetjoe Sandjaja Hernanto menjelaskan, mengenai pengembalian uang senilai ratusan juta rupiah kepada penyidik yang menangani kasus DNA Pro tidak perlu dilakukan oleh Rossa dan para musisi lainnya, sebab uang yang diterima dari DNA Pro murni merupakan uang pembayaran atas jasa hiburan, berdasarkan kesepakatan yang mereka lakukan. “Para profesional tidak perlu mengembalikan honor yang diterima,” kata Tjoetjoe.
Adapun tindakan pengembalian atau sita sementara yang dilakukan pihak aparat akan menjadi preseden buruk bagi para profesional pemberi layanan jasa yang kliennya merupakan tersangka polisi.
Menurut Tjoetjoe, besar kemungkinan akan terjadi rasa takut pada para artis ketika mendapatkan tawaran pekerjaan. Padahal, mereka tidak tahu apa-apa tentang kasus yang menimpa klien, karena murni bekerja berdasarkan profesi keartisan.
“Sekarang kalau nerima kerjaan jadi agak takut, ya. Jadi, saya memang menyanyi untuk sebuah acara. Waktu itu juga saya nggak tahu, seperti biasa, kan, penyanyi itu cuma tahu tanggal sekian, nyanyi di mana. Udah gitu aja, (acaranya) di Bali,” tutur Rossa seperti dikutip dari laman Grid.
Hal ini tentu tidak berlaku, jika konteks penerimaan uangnya berbeda. Bukan untuk pembayaran jasa profesi, melainkan karena terlibat dalam manajemen DNA Pro. Jika begini, barulah pihak kepolisian dapat melakukan sita terhadap uang tersebut.
Kekhawatiran Rossa sebagai entertainer sangat beralasan apalagi konsekuensi uukum dari makna penyitaan dengan pengembalian adalah berbeda, penyitaan dilakukan terhadap barang yang diduga berhubungan dengan kejahatan yang nantinya bisa saja dikembalikan akan tetapi kebanyak tidak, sedangkan pengembalian berarti mengakui bahwa barang itu memang diketahui hasil dari kejahatan sehingga harus diserahkan.
Komisi Pemberantasan Korupsi pernah menyampaikan kenaikan imbalan bagi mereka yang bisa mengungkap dan melaporkan tindak pidana korupsi dari 0,02 persen menjadi 10 persen. Jika laporan warga terbukti, KPK akan memberikan komisi 10 persen dari hasil kejahatan korupsi yang dilaporkannya.
Hal itu disampaikan sekaligus menanggapi pemberian imbalan berupa hadiah atau penghargaan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 tentang tata cara pemberian penghargaan terkait pemberantasan korupsi (diperbaharui dengan PP No. 43 Tahun 2018) sebesar 0,02 persen yang dinilai terlalu kecil.
Wakil Ketua KPK 2019-2023 Alexander Marwata mengaku ingin menambah imbalan bagi pelapor kasus dugaan korupsi dengan bukti-bukti lengkap.
“Kita harus buat peraturan atau ketentuan apa pun bentuknya kalau pelaporan tidak boleh ada pembalasan sekalipun laporannya salah saat didalami, dan harus bisa semua orang melaporkan dan tidak ada sanksinya, kemudian ada imbalan juga,” kata Alexander di gedung Sekretariat Negara Jakarta dalam uji publik seleksi capim KPK 2019-2023 pada 27-29 Agustus 2019 dan diikuti 20 capim.
“Pelapor saat ini dapat insentif maskimal Rp200 juta, itu artinya 2 per mil (2 per seribu) dari kerugian keuangan negara yaitu Rp100 miliar, itu projeknya sudah gede banget. Kasihlah nilai 10 persen untuk kerugian negara dan kalau penyuapan 25 persen karena tidak melibatkan kerugian negara. Bayangkan kalau itu diberikan maka masyarakat akan lebih banyak menyampaikan laporan dengan bukti yang jelas,” ungkap Alexander.
Alexander menilai bahwa lebih baik negara memberikan Rp100 juta dibanding harus kehilangan uang Rp1 miliar karena kerugian negara.
Demikian kutipan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 17
- Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 disepakati untuk memberikan penghargaan berupa premi, besaran premi diberikan sebesar 2o/oo (dua permil) dari jumlah kerugian keuangan negara yang dapat dikembalikan kepada negara.
Pasal 20
- Pelaksanaan pemberian penghargaan berupa premi dilakukan setelah kerugian keuangan negara, uang suap, dan/atau uang dari hasil lelang barang rampasan disetor ke kas negara.
Bahkan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Agus Rahardjo mengatakan pemerintah sebenarnya tidak perlu repot mengalokasikan dana imbalan untuk pelapor kasus rasuah.
Agus mengatakan KPK sebenarnya sudah punya peraturan terkait imbalan bagi pelapor kasus korupsi. Menurut Agus, dalam dua aturan KPK sebelumnya, justru tidak ada batas maksimal hadiah yang diberikan kepada pelapor.
Dalam peraturan yang ada sebelumnya, imbalan itu bisa dipotong langsung dari kerugian negara yang dikembalikan koruptor, setelah adanya amar putusan pengadilan. “Ya dikembalikan, dan langsung dipotong,” kata Agus di gedung DPR, Jakarta, Rabu (10/10).
Berbeda dengan kasus penyanyi Rossa yang menerima fee hasil kerja berdasarkan kesepakatan tanpa mengetahui asal-usul pembiayaannya, imbalan ini jelas diambil dari uang hasil korupsi.
Dalam peristiwa hukum yang dialami oleh para entertainer tersebut secara yuridis memang dapat dikatagorikan sebagai perjanjian yang dapat dibatalkan yaitu perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak karena tidak memenuhi syarat subjektif di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), namun tetap tidaklah sesederhana itu.
Harus juga ditinjau dari syarat-syaratnya, antara lain “kesepakatan para pihak dalam perjanjian” dan “kecakapan para pihak dalam perjanjian”. Untuk syarat “kesepakatan”, Pasal 1321 KUH Perdata menyatakan bahwa “tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.
Perjanjian yang dapat dibatalkan tidak sama dengan perjanjian yang “batal demi hukum”, karena perjanjian yang batal demi hukum merupakan perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif dan dari awal sudah dianggap tidak ada perjanjian, sementara untuk perjanjian yang dapat dibatalkan pembatalannya harus diajukan oleh salah satu pihak yang terlibat.
Bagaimana bila perjanjian tersebut sudah dilaksanakan dan para pihak sudah saling berprestasi dengan baik?
Apakah perjanjian tersebut dapat dimaknai bahwa pemberi kerja melakukan penipuan jika biaya yang dikeluarkan diduga bercampur dengan hasil kejahatan? Unsurnya adalah “bercampur” bukan “berasal”.
Bagaimana bila penerima kerja memang dengan itikad baik sehingga situasi dan kondisi mendukung untuk tidak sampai menginsyafi yang membuatnya terlepas dari dugaan bahwa fee berasal dari aktivitas kejahatan?
Jika perjanjian batal kemudian fee dirampas oleh negara dan secara hukum memang pekerja dapat menuntut ganti-rugi dari pemberi kerja, lalu bagaimana dan darimana si pemberi kerja akan memenuhi tuntutan tersebut?
Bukankah dengan demikian justeru sistem hukum yang dikerjakan oleh penegak hukum ternyata justeru sangat merugikan pekerja?
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, syarat sahnya perjanjian adalah sebagai berikut:
- Kesepakatan para pihak dalam perjanjian;
- Kecakapan para pihak dalam perjanjian;
- Suatu hal tertentu;
- Sebab yang halal.
Poin 1 dan 2 merupakan Syarat Subjektif, sedangkan poin 3 dan 4 merupakan Syarat Objektif. Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.
Null and void atau batal demi hukum terjadi dalam perjanjian yang memang dari awal dianggap batal dan tidak pernah ada sebagai akibat dari tidak terpenuhinya syarat objektif, sedangkan voidable atau perjanjian yang dapat dibatalkan terjadi apa bila salah satu syarat subjektif tidak terpenuhi.
Secara subjektif para pihak saling sepakat dan memenuhi unsur kecakapan, kemudian perjanjian tersebut mengenai pekerjaan tertentu yang jelas dan merupakan sebab yang halal.
Jadi, tidak ada pelanggaran atau perbuatan melawan hukum dalam perjanjian tersebut yang membatalkan perjanjian, apalagi kedua belah pihak telah memenuhi prestasi maka lebih kepada peristiwa hukum tidak boleh dibatalkan, meskipun sifatnya bisa saja dapat dibatalkan dengan syarat sebelum atau selama prestasi itu sedang berjalan.
Tentu akan berbeda dan sangat merugikan salah satu pihak jika semua prestasi telah terpenuhi dan mendapat intervensi dari pihak ketiga yang merasa berkepentingan setelah semua prestasi terpenuhi.
Jika perjanjian voidable (dapat dibatalkan) sehingga salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan dalam hal ini pekerja, sementara prestasinya sudah dipenuhi dengan baik sehingga dilindungi oleh hukum yang dengan demikian dilindungi oleh konstitusi dalam pemenuhan hak-haknya yang tidak boleh dikurangi.
Maksud undang-undang bisa jadi dan seringkali sangat berbeda dengan penafsiran aparat penegak hukum, penafsiran suatu rumusan aturan tidaklah berdasarkan pada pandangan penegak hukum melainkan pada maksud undang-undang yang merupakan kewenangan dari si pembuat undang-undang dan/atau ahli hukum karena UU bukanlah monopoli penguasa sehingga tafsiran atau maknanya seolah diserahkan kepada penguasa ataupun aparat penegak hukum, ini keliru.
Seolah-olah keinsyafan akan kemungkinan itu merupakan hal mudah sekali yang dituntut untuk dilakukan oleh masyarakat awam, padahal untuk membawa suatu perkara mengenai kerugian keuangan negara bagi secara profesional membutuhkan pembuktian yang rumit dan memakan waktu hingga diputuskan sebagai tindak pidana.
Acontrary, bukankah imbalan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2018 ini identik dengan suap atau layering (pelapisan) dalam pencucian uang, bedanya hanya pelakunya saja, yang satu penjahat sedangkan lainnya instansi resmi dengan legalitas sebagai lembaran negara RI tahun 2018 nomor 157.
Bahkan dari sudut pandang awam imbalan tersebut bisa diperdebatkan dengan Pasal 165 KUHP yang telah mengamanatkan setiap warga negara untuk wajib melaporkan jika mengetahui sebuah tindak kejahatan, tentunya termasuk tindak pidana korupsi.
*Agung Pramono, SH, CIL.