Polemik Pemberhentian
Kamis (29/9/2022) lalu, dalam Rapat Paripurna DPR, Hakim Konstitusi Aswanto diberhentikan oleh DPR sebagai lembaga pengusulnya, sebab aduan masyarakat dan tindakannya dalam memutus perkara yang tidak sejalan dengan kehendak DPR sebagai pembentuk UU, kerap menganulir produk yang telah dibentuk oleh DPR dinilai melanggar komitmennya terhadap DPR. Ini adalah pertunjukan nalar fallacy oleh DPR sudah mengendalikan kemandirian Yudikatif.
UU No. 11 Tahun 2020 dan revisi UU No. 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang Cipta Kerja, hingga revisi ketiga UU 24/2003 tentang MK yang digarap DPR dan pemerintah memang menuai banyak persoalan, Aswanto dan hakim MK bertugas menguji yakni antara lain dengan membatalkan suatu undang-undang apabila isi, materi, rumusan pasal dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan norma-norma dalam Konstitusi..
Tindakan DPR tersebut selain dinilai tidak taat perundang-undangan dan Putusan MK seolah menunjukkan DPR hendak menambahkan kekuasaan yang selama ini ada. Bila sebelumnya hanya berwenang mengusulkan hakim konstitusi, melalui praktik dan berkeinginan untuk juga dapat memberhentikan.
Jabatan Hakim Konstitusi
Merujuk Pasal 18 ayat (1) UU MK mengatur keberadaan DPR dalam pemilihan hakim konstitusi sebatas mengajukan, bukan berarti berasal dari anggota DPR.
Pemberhentian Aswanto yang digantikan oleh Guntur Hamzah tidak sesuai dengan bunyi Pasal 19 UU MK yang mengharuskan pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.
Rumusan norma dalam Pasal 87 UU 7/2020 menyebutkan masa tugas hakim Konstitusi, sementara secara limitatif dalam Pasal 23 ayat (1) dan (2) UU 7/2020 diatur pemberhentian dengan hormat antara lain sebab meninggal dunia, mengundurkan diri, berusia 70 tahun, dan sakit jasmani atau rohani, dan pemberhentian secara tidak hormat apabila dipidana penjara sesuai dengan putusan pengadilan yang sudah inkracht.
Ketentuan Pasal 23 ayat (4) mengatur bahwa “pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas Permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi”, ditetapkan paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal Presiden menerima permintaan pemberhentian.
Mengacu Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman secara gamblang menyebutkan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. Oleh karenanya, tidak ada kewajiban hakim konstitusi menuruti atau membenarkan semua produk peraturan perundang-undangan yang diinisiasi oleh pemerintah atau DPR.
Merujuk Pasal 18 ayat (1) UU MK mengatur keberadaan DPR dalam pemilihan hakim konstitusi sebatas mengajukan, bukan berasal dari anggota DPR.
Politik Legislasi
Revisi keempat UU MK yang saat ini sedang di-godog dalam draft-nya menyebutkan DPR bisa melakukan evaluasi terhadap hakim konstitusi kapanpun berdasarkan laporan dari masyarakat. Artinya, bisa memecat hakim konstitusi (yang sebelumnya dicalonkan) oleh DPR di tengah jalan.
Padahal, putusan Nomor perkara 56/PUU-XX/2022, yang akan mengawasi MK dalam penegakan etik dalam pasal 27A ayat (1) huruf b, tidak lagi dengan unsur Komisi Yudisial melainkan tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik manapun.
Senin (20/6/2020), MK memutus empat perkara pengujian formil dan materiil UU MK Nomor 7 Tahun 2020, yaitu Nomor 90/PUU-XVIII/2020, Nomor 96/PUU-XVIII/2020, Nomor 100/PUU-XVIII/2020 dan Nomor 56/PUU-XX/2022.
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie secara tegas mengatakan langkah DPR memberhentikan Aswanto merupakan tindakan inkonstitusional. Demikian pula Hamdan Zoelva. Karena itu pertemuan 9 eks hakim MK yang dihadiri oleh Mahfud MD, Hamdan Zoelva, Maruarar, Laica Marzuki, Harjono, I Gede Dewa Palguna, Maria Farida, Sodiki dan Jimly sendiri di Gedung MK, Sabtu (1/10/2022) menyimpulkan langkah DPR Inkonstitusional, dan dari aspek prosedur maupun materi, pemberhentian Aswanto bertentangan dengan Undang-Undang MK.
Dasar pemikiran pemberhentian Aswanto bermuatan konflik kepentingan, bahkan seolah ingin menundukkan atau mengendalikan MK, yang mana penilaian dari sikap menganulir produk legislasi DPR mengindikasikan parlemen memiliki kepentingan dalam proses pemilihan hakim konstitusi
Langkah DPR memberhentikan masa jabatan hakim konstitusi di tengah masa jabatannya bisa jadi terkait dengan kontestasi politik 2024, sebab, bukan tidak mungkin menjadi siasat partai tertentu dalam mengamankan konsolidasi politiknya.
Pemikiran bahwa Aswanto gagal mewakili (kepentingan) DPR adalah kekacauan nalar. Publik patut menduga ke depannya MK maupun hakim konstitusi yang dipilih DPR amat kental dengan muatan kepentingan politik tertentu. Bahkan, hanya menjadi alat pelindung bagi regulasi predatorik bentukan DPR dari upaya pengujian oleh publik. Itu sebabnya langkah DPR telah melampaui kewenangannya.
Analogi dan Fallacy Nalar
Penggantian Aswanto oleh DPR ini mestilah berdampak terhadap penanganan pengujian UU ke depan. Kekuasaan kehakiman mestinya bebas dari semua tekanan seperti ekonomi, politik, personal, termasuk pembalasan. Menurut Palguna, kemerdekaan kekuasaan kehakiman sifatnya bukan hak istimewa (privilege), tapi syarat untuk tegaknya negara hukum.
Indonesia menganut negara demokrasi berlandaskan hukum model konstitusional dimana kedudukan konstitusi sebagai yang tertinggi (supreme). Kekuasaan kehakiman berfungsi menjaga supremasi tertinggi itu.
Jika penafsiran konstitusi itu diberikan kepada lembaga politik (legislatif atau eksekutif), maka akan terjadi perdebatan politik tanpa ujung-pangkal. Artinya, dalam konteks penalaran konstitusi maka Hakim MK secara fungsional lebih tinggi ketimbang persona Legislatif.
DPR tidak bisa mencopot hakim MK yang dikira “mewakili” DPR seperti “mencopot” anggota DPR dari suatu partai dengan cara “recall“. Jika model recall ini dilanjutkan, prinsip negara hukum dan demokrasi hanya jargon.
Sah-sah saja bila kita berpikir sangat mungkin banyak putusan-putusan MK di masa lalu sangat mendapatkan intervensi, yang sudah puluhan kali diuji namun MK tetap berpendapat hal itu merupakan open legal policy, sehingga wajar bila berpikir terjadi intrik politik hingga konspirasi gelap mafia hukum.
Pada draft revisi keempat UUMK terdapat ide bahwa DPR bisa melakukan evaluasi terhadap hakim konstitusi kapanpun berdasarkan laporan dari masyarakat. Artinya, DPR bisa ‘memecat’ hakim konstitusi (yang sebelumnya dicalonkan) di tengah jalan.
Ironi Profesional Advokat
Dimana para penegak hukum yang menyadari bahwa pejabatnya melakukan suatu pelanggaran? Memang ada prosedurnya, tapi sesat bukan? Melanggar aturan yang dibuat sendiri, perlawanan terhadap hukum, mengapa terjadi hal yang berbeda dengan kekuatan intelektual hukum rakyat, yaitu Advokat yang meluruskan nalar etik? Sungguh curam sekali disparitasnya perlakuannya.
Sebuah produk kesepakatan politik berupa UU bisa jadi sudah konstitusional dalam pembentukannya, mungkin, akan tetapi tidak dengan materinya, jangan sampai suatu norma yang opresif disebut konstitusional hanya karena disepakati oleh pembentuk UU, justeru hal inilah yang harus dianulir oleh MK sebagai pengawal konstitusi yang tidak hanya menilai dari proses dan prosedur pembentukannya namun lebih kepada materinya yang bertentangan dengan konstitusi dan terutama mengancam tatanan kehidupan rakyat.
Bagi Hans Kelsen, pengadilan yang menjalankan kewenangan untuk menguji UU merupakan bentuk nyata penyimpangan atas prinsip pemisahan kekuasaan. Ketika pengadilan menguji UU maka pada dasarnya pengadilan melakukan fungsi legislasi. Pada saat yang sama pengadilan terlibat dalam politik legislasi. [Alec Stone Sweet, The Politics of Constitutional Review ini France and Europe”, Internatonal Journal of Constitution Law, Vol. 5, Issue 1, January 2007, pp. 69-92, page 72]
Kelsen melanjutkan harus dibedakan fungsi legislasi antara parlemen dengan pengadilan, parlemen membuat hukum sebagai positive legislator sedangkan pengadilan menguji sebagai negative legislator dalam rangka membatalkan norma.
Ran Hirschl mendefinisikan yudisialisasi politik sebagai “…ketergantungan yang semakin cepat pada pengadilan dan sarana yudisial untuk mengatasi kesulitan moral inti, pertanyaan kebijakan publik, dan kontroversi politik.” [Ran Hirschl, The New Constitution and the Judicialization of Pure Politics Worldwide, Fordham Law Review, Vol. 75, Issue 2, 2006, page 721-754]
Kepentingan MK dalam politik legislasi tidak hanya dalam perkara-perkara sederhana, namun warga negara dapat melihat bahwa produk legislasi adalah penetrasi dan intrusi hukum yang luar biasa yang oleh karenanya harus diadili oleh MK, sebab menentukan arah perjalanan bangsa dan mempertaruhkan nasib rakyat kebanyakan.
Mengingat kondisi hukum dan politik negeri ini sudah rusak, Prof. Suteki mengatakan sudah saatnya dilakukan restorasi kepemimpinan nasional agar kembali kepada the truth and justice. Kerusakan sudah begitu akut, maka harus dilakukan perubahan yang radikal, extraordinary, bukan perubahan yang biasa, baik inkremental maupun cut and glue. Apakah perlu revolusi? Apakah perlu people power? Dengan jalan apa kita memperbaiki kerusakan akut negeri ini?
Kenyataan menunjukkan animo warga negara untuk terlibat dalam proses bernegara dengan mengajukan JR produk legislasi ke MK, disisi lain menyimpulkan bahwa warga negara mereduksi kepercayaan – mosi tidak percaya – pada wakil-wakilnya di parlemen, ingin melek dengan peraturan per-UU-an yang membatasi hingga menekan banyak aspek kehidupan.
Uji materi yang terdekat adalah mengenai KUH Pidana yang telah disahkan pada tanggal 6 Desember 2022 dengan segala catatan potensi penyimpangan yang sangat terbuka dalam implementasinya, yang biasanya akan disebut olek MK sebagai bukan perkara konstitusionalitas norma melainkan masalah penerapannya saja, dan barriers serta barter sebagai bagian dari benih opresi (mungkin) sedang menunggu suara rakyat untuk diredam.
Soal polemik penggantian Hakim Aswanto ke Hakim Guntur tidak tampak cantik, memang debatable, sebut saja bahwa fallacy itu pun termasuk teknik debat, dan ignorantio ellenchies menjadi strategi.
Penulis sepakat bahwa itu bukan kekacauan cara berpikir sebab itu sah-sah saja secara politis, hanya saja tidak sehat secara hukum.
Jika diketahui bahwa usulan dan pemecatan adalah proses politik maka berbuatlah demi hukum, batalkan apa yang inkonstitusional dan biar pemecatan jadi bukti yang terang bahwa konstitusi telah dijaga baik oleh kerja dan nalar berhukum yang benar.
*Adv. Agung Pramono, SH, CIL.