Menara Gading Sesungguhnya
Perguruan Tinggi sejak abad pertengahan di Eropa dikategorikan sebagai lembaga “Menara Gading” sebagai tempat bertanya para penguasa kerajaan, maupun para pakar, rakyat dan raja-raja terkait soal kemasyarakatan yang berkembang saat itu, sekaligus sebagai pusat ilmu pengetahuan (Scientific Centre) dengan tradisi berbagai penemuan hal-hal baru dan ilmiah.
Tradisi pendidikan Tinggi sejak jaman Plato Yunani hingga jaman madrasah Al Gazali di Bagdad sangat dijaga agar tidak dicemari perilaku negatif lainnya.
Goenawan Mohamad mengatakan bahwa dalam era pasca kebenaran dimana batas antara yang benar dan dusta menjadi kabur, maka peran Perguruan Tinggi sangat dibutuhkan. Perguruan Tinggi merupakan suatu clearing house, dimana seharusnya kondisi pasca kebenaran tidak berlaku namun dengan syarat adanya etika kedhaifan.
Merelatifisir Relasi Kuasa
Meminjam teori dari Michel Foucault tentang relasi kuasa. Dalam sebuah hubungan antar individu atau kelompok rentan terdapat sebuah relasi kuasa dimana individu atau kelompok yang memiliki otoritas dapat mengendalikan individu atau kelompok lain yang berada di bawah otoritasnya.
Kombinasi antara mentalitas feodal dan relasi kuasa manjadi faktor utama penghambat kemajuan. Padahal pada abad renaisans, ciri khas yang mengakar kuat pada masa tersebut adalah the idea of progress atau gagasan akan kemajuan.
UNESCO Declaration For The 21th Century menyatakan bahwa perguruan tinggi harus memiliki sebuah sistem yang bersifat hak untuk menentukan prioritas dan melakukan kajian ilmiah tanpa batas apapun kecuali oleh norma dan kepentingan masyarakat dan harus toleran atas pendapat yang berbeda dan bebas dari intervensi politik, sebab sangatlah erat kaitannya dengan integritas Civitas Akademika dalam menyatakan pandangannya, analisisnya maupun kritiknya terhadap permasalahan yang terjadi.
Makna hak atas pendidikan sebagaimana diatur dalam article 13 ICESCR, menyatakan bahwa kebebasan akademik sendiri memiliki dua komponen yang harus dilindungi, yaitu anggota akademi seperti dosen dan mahasiswa dalam menyampaikan pendapatnya baik secara individual atau berkelompok, dan terdiri dari Perguruan Tinggi sebagai lembaga akademisi yang independen dan bebas dari intervensi kekuasaan.
Hal-hal tersebut dapat meredam ekskalasi serangan terhadap kebebasan akademik dan otonomi Perguruan Tinggi yang cenderung meningkat terutama dengan modus-modus yang sering dilakukan untuk memberikan tekanan terhadap kebebasan akademik adalah dengan upaya kriminalisasi.
Sivitas akademika Perguruan Tinggi juga harus hadir sebagai kekuatan yang mandiri seperti yang termaktub dalam dokumen Magna Carta Universitatum (1988) di Bologna, Perguruan Tinggi adalah lembaga otonom di jantung masyarakat yang terorganisir karena geografi dan warisan sejarah; itu menghasilkan, memeriksa, menilai dan menurunkan budaya melalui penelitian dan pengajaran.
Intervensi Dan Intrusi Mestinya Relatif
Perguruan Tinggi ialah merupakan tempat dimana ide dan kenyataan itu didiskusikan. Memperdebatkan yang dinggap bertentangan dengan kenyataan, membicarakan tabu yang tidak bisa dilakukan di wilayah umum, tempat menikmati semua kemungkinan, harapan dan tantangan, harus diperlihatkan sebagai milik dan tanggung jawab bersama.
Agar mahasiswa dapat menemukan sebuah kebenaran secara teori setidaknya mendekati pada sebuah kebenaran yang nyata, dan ia juga sudah merupakan institusi publik.
Tempat dimana segala tafsir sempit menemukan penjabarannya demi kepastian dalam konteks sosial untuk diterapkan atau memunculkan suatu kebaruan yang dapat membatalkan pola pikir lama kepada yang baru dan lebih tepat.
Ditempat seperti Perguruan Tinggi lah penegak hukum mengalami upgrading untuk memiliki keahlian khusus dalam mengusut dan memilah-pilih peristiwa-peristiwa terkait, tentu harus lebih berhati-hati dalam mencari unsur-unsur Pidananya.
Tindakan para aparat harus merujuk pada konvensi internasional tentang HAM bahwa lembaga pendidikan, rumah sakit, dan tempat ibadah adalah lembaga-lembaga humanitarian yang tidak boleh diserang oleh pihak mana pun, bukannya menjelma menjadi sebuah institusi yang membantu menebar ketakutan dalam diri masyarakat di berbagai golongan.
Perguruan Tinggi Dan Citra
Menurut Prado (2018), pasca-kebenaran cenderung menjadikan kebenaran direalisasi kepada individu, di mana kebenaran dipahami sebagai sesuatu yang subjektif, mungkin membuktikan kegunaan. Tapi harus diingat bahwa pasca-kebenaran adalah sesuatu yang menyuarakan pandangan personal, membesar-besarkan, perhiasan, ekspresi impulsif, pengingkaran langsung.
Personalisasi biasanya mengonstruksi citra yang jarang tampil apa adanya serta ada suatu hal yang direkonstruksi. Personalisasi semacam itu hanya membangun konstruksi citra yang kamuflase dan paradoks.
Kekacauan sikap, persepsi, dan perilaku bisa jadi disebabkan oleh informasi dan pengetahuan yang mengalami reduksi dan pendangkalan, dan sikap reaktif menunjukan ketidaksiapan perangkat moral dan etika yang dimiliki individu dalam masyarakat, bukannya menyanggah dengan hak jawan melainkan menihilkan pihak lainnya, mendorong munculnya sikap merasa benar dan melihat posisi dan sikap orang lain menjadi salah.
Menarik kajian Rianto dalam risetnya yang berangkat dari asumsi dasarnya, bahwa fenomena post-truth tidak dapat disandarkan semata pada literasi digital. Sebaliknya, etika media sosial harus menjadi sandaran lainnya sebab literasi digital semata tidak cukup untuk berhadapan dengan karakter individu yang hanya percaya pada apa yang ingin mereka percayai. [Rianto, Puji, literasi Digital dan Etika Media Sosial di Era Post Truth, dalam: Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 8, No. 2, Desember 2019, hal, 25, ISSN 2310-6051 (Print), ISSN 2548-4907 (online) Journal hompage https://ejournal.undip.ac.id/index.php/interaksi]
Mengenai relativitas literasi digital selanjutnya akan berkaitan dengan pertimbangan dan tafsiran Mahkamah Konstitusi yang akan penulis urai dibawah nanti.
Pemerintah Terhadap Perguruan Tinggi
Radikalitas kebebasan ilmiah berarti beradu argumen, menyampaikan kritikan dan protes dengan mengembalikan lagi pada ide dan pemikiran mendasar serta situasi yang berkembang di masyarakat.
Berkaitan dengan aktivitas mahasiswa yang ikut dalam arus konflik Perguruan Tinggi dengan segala diskursusnya maka terdapat suatu aspek yang sangat fundamental berkenaan dengan student government yaitu berkaitan dengan responsibility. Bersamaan dengan datangnya kekuatan yang besar, maka datang pula pertanggungjawaban yang besar. Sistem kelembagaan yang menganut student government ini, tentunya menuntut sebuah tanggungjawab yang besar.
Kebebasan itu bisa dilihat di Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Lihat bunyi pasal 8 ayat (1) sampai ayat (3) dan pasal 9 ayat (1) sampai ayat (3) UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Terutama mengenai otonomi keilmuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam menemukan, mengembangkan, mengungkapkan, dan/atau mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah, metode keilmuan, dan budaya akademik.
Jelas bahwa yang dimaksud dengan kebebasan adalah kebebasan ilmiah, sebagaimana penjelasan Pasal 8 ayat (1) “Yang dimaksud dengan “akademik” dalam “kebebasan akademik” dan “kebebasan mimbar akademik” adalah sesuatu yang bersifat ilmiah atau bersifat teori yang dikembangkan dalam pendidikan tinggi dan terbebas dari pengaruh politik praktis.
Kemudian, berkaitan dengan keterlibatan pemerintah dan kepolisian terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia. Melalui pasal 5 memang harus dimaknai bahwa Perguruan Tinggi masih merupakan bagian dari wilayah hukum kepolisian dan tentu polisi berwenang untuk memasukinya, dalam suatu keadaan tertentu yang juga harus merujuk pada pengaturannya melalui koordinasi.
Dengan catatan pula bahwa otorita Perguruan Tinggi adalah juga berkaitan dengan kemadirian statuta, sedangkan dependensi terhadap pemerintah dibatasi pada pengawasan pemerintah mesti dijalankan pada diskursus kritis di ruang publik, yang di dalamnya pemerintah dan Perguruan Tinggi bertemu sebagai dua institusi yang sama bebas dan setara untuk berdiskusi dan berdebat tentang kebijakan-kebijakan pendidikan yang berguna bagi misi pencerdasan kehidupan bangsa.
Sehingga konflik dan pemecahannya termasuk menjadi bahan pendidikan di ruang publik sebab Perguruan Tinggi juga merupakan institusi publik yang memiliki otoritas kompromistik secara ilmiah, apalagi berkaitan dengan penerapan norma.
Peran Signifikan Perguruan Tinggi
Di era kolonial menuju kemerdekaan Indonesia, kelompok intelektual hadir sebagai garda depan untuk melawan dan membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan. Kemudian pada 1998, kelompok intelektual Perguruan Tinggi juga berperan besar dalam penggulingan rezim otoriter Orde Baru.
Perguruan Tinggi bukan kantor atau korporasi, salah satu hal yang membuat Perguruan Tinggi menjadi khusus dan mulia – tanpa tendensi diistimewakan – Perguruan Tinggi adalah entitas yang paling inovatif, responsif, kreatif, dan harus dianggap kooperatif. Oleh karena itu, ia harus berjalan dengan prinsip otonomi untuk dapat berkembang secara baik dan sehat dan harus terhindar dari segala bentuk generalisasi kekuasaan yang sesungguhnya bertentangan dengan sifat alamiahnya.
Perguruan Tinggi yang merupakan lembaga perguruan tinggi yang memiliki misi untuk menjalankan tridarma (pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat) malah berubah fungsi menjadi produsen mahluk homogen (memiliki cara pikir dan tindak yang sama), tidak peka terhadap persoalan sosial yang terjadi.
Konstitusi mensyaratkan akses yang luas pada pendidikan bermutu tinggi. Pilihan ini sejalan dengan cita-cita kemerdekaan para pendiri negara kita sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, yang antara lain mencerdaskan kehidupan bangsa.
MK melalui Putusan Nomor 103/PUU-X/2012 menegaskan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi baik yang berkaitan dengan akademik dan non akademik.
(bersambung ke bagian 2)
*Adv. Agung Pramono, SH., CIL.