Aturan Hak Imunitas dalam UU Advokat Konstitusional - Kongres Advokat Indonesia

Aturan Hak Imunitas dalam UU Advokat Konstitusional

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak permohonan mengenai hak imunitas advokat sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Putusan Nomor Nomor 113/PUU-XXI/2023 dari perkara yang diajukan oleh Alvin Lim dibacakan pada Rabu (29/11/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.

“Amar putusan, menolak permohonan untuk seluruhnya,” tegas Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan pengujian Penjelasan Pasal 16 UU Advokat. Sidang tersebut dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.

Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, MK mengatakan pemenuhan atas hak imunitas bagi advokat tidak bersifat absolut, melainkan dibatasi oleh adanya “iktikad baik” yang didefinisikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU Advokat sebagai menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan klien. Ia menambahkan hal demikian untuk menghindari postulat ‘impunitas continuum affectum tribuuit delinquendi’ yang berarti imunitas yang dimiliki seseorang membawa kecenderungan kepada orang tersebut untuk sewenang-wenang dan melakukan kejahatan. Pandangan Mahkamah demikian menegaskan kembali pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XVI/2018, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Februari 2018 yang menyatakan, “Kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada ‘kepentingan pembelaan klien’ melainkan pada iktikad baik”.

“Artinya, secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur ‘iktikad baik’ dimaksud tidak terpenuhi. Oleh karena itu, terdapat 2 (dua) perspektif dalam memaknai iktikad baik dalam hak imunitas advokat, yaitu yang bersifat subjektif dan objektif. Iktikad baik yang bersifat objektif dalam hal ini adalah sebuah tindakan yang harus berpedoman pada norma hukum positif dan sosiologis atau pada apa yang dianggap patut oleh masyarakat,” terang Arief.

Sedangkan, dalam perspektif subjektif, lebih menekankan pada kejujuran dan sikap batin seorang advokat pada saat melakukan tugasnya sebagai bagian dari aparat penegak hukum. Arief menyatakan advokat adalah sebuah profesi mulia (officium nobile) sehingga dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya membutuhkan sebuah profesionalisme dan komitmen tinggi terhadap penegakan hukum. Profesi pada umumnya mengatur hak-hak yang fundamental dan mempunyai peraturan-peraturan mengenai tingkah laku atau perbuatan dalam melaksanakan profesinya yang sebagaimana telah dirumuskan dalam Kode Etik Advokat Indonesia yang juga menimbulkan kewajiban yang dibebankan pada dirinya sendiri (self-imposed).

“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dengan adanya hak imunitas yang diberikan kepada advokat maka timbul tanggung jawab besar yang harus diemban oleh advokat sebagai salah satu aparat penegak hukum sekaligus untuk menjaga marwah profesi advokat sebagai officium nobile. Dengan demikian dalil Pemohon mengenai ketidakjelasan pengertian ‘iktikad baik’ dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 telah mengakibatkan pembatasan bagi advokat terhadap akses keadilan untuk mendapatkan bantuan hukum dan memberikan pembelaan terhadap klien, sehingga apabila terdapat pelanggaran hukum oleh advokat yang dilakukan dengan iktikad tidak baik, harus diperiksa melalui DKOA adalah tidak beralasan menurut hukum,” paparnya.

Kemudian, Pemohon juga mendalilkan ketiadaan penjelasan dari frasa “di luar persidangan, dalam Penjelasan Pasal 16 UU Advokat akan menghilangkan unsur keseimbangan dalam pemeriksaan perkara oleh para advokat untuk membela kepentingan klien. Hal ini akan menutup semua saluran atau sarana bagi advokat untuk bersuara menyampaikan kritik, saran, masukan, dan/atau pendapat untuk dan atas nama kepentingan klien, khususnya dalam lingkup penyiaran serta tidak menutup kemungkinan akan memunculkan tekanan, ancaman, paksaan terhadap advokat yang kritis dan vokal menyuarakan persoalan hukum yang dihadapi klien.

“Terhadap dalil Pemohon demikian, Mahkamah berpendapat, apabila Mahkamah mengikuti alur berpikir dari Pemohon, justru malah akan mempersempit makna ‘di luar persidangan’ yang secara umum diartikan sebagai proses penyelesaian non litigasi, yaitu penyelesaian sengketa yang dilakukan menggunakan cara-cara yang ada di luar pengadilan atau menggunakan lembaga alternatif penyelesaian sengketa,” urai Arief.

Secara doktriner, lanjut Arief, cara penyelesaian non-Iitigasi ini dibagi menjadi 2 (dua) macam, yakni arbitrase dan alternative dispute resolution (ADR) yang terbagi menjadi konsultasi, negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Selain itu, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya bahwa titik sentral dari hak imunitas advokat ini adalah bertumpu pada adanya iktikad baik dari advokat pada saat menjalankan tugas profesinya. Artinya, segala tindakan hukum di luar pengadilan seperti menyampaikan kritik, saran, masukan, dan/atau pendapat untuk dan atas nama kepentingan klien, khususnya dalam lingkup penyiaran juga harus dilakukan berdasarkan pada iktikad baik dari advokat sebagai bagian dari aparat penegak hukum. Dengan demikian, dalil permohonan Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.

“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat norma frasa tidak dapat dituntut dalam Pasal 16 UU 18/2003 yang telah dimaknai oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 dan Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 telah ternyata tidak bertentangan dengan pemenuhan hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya yang dijamin dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” tandas Arief.

Sebelumnya Alvin Lim, seorang advokat, menguji terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana terhadap Perkara Nomor 113/PUU-XXI/2023 ini digelar pada Selasa (3/10/2023) di Ruang Sidang Panel MK. Pemohon menguji Penjelasan Pasal 16 UU Advokat. Pemohon mendalilkan dalam melakukan tugasnya, advokat tentunya berpotensi berbenturan dengan Kepolisian maupun Kejaksaan. Namun atas tugas yang dibebankan oleh Pemohon, pemohon ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian dengan laporan polisi dengan Nomor LP/B/0536/IX/2022/SPKT/BARESKRIM POLRI tertanggal 19 September 2022 terkait dugaan pencemaran nama baik dan/atau fitnah dan/atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat dan/atau menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap berdasarkan Pasal 45 ayat (3) Jo Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan/atau Pasal 310 dan/atau Pasal 311 KUHP

Pemohon telah menjalani profesi dengan itikad baik dalam membela, mendampingi dan memberikan bantuan hukum di luar pengadilan, dalam hal ini konteksnya adalah Pemohon menyampaikan fakta melalui media. Fakta tersebut telah menimpa pada klien Pemohon. Akan tetapi, pada kenyataannya berdasarkan laporan tersebut, Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka itu menimbulkan beberapa hal yakni telah mencoreng kehormatan profesi advokat. Kemudian, telah merenggut hak imunitas yang dimiliki pemohon sebagai advokat. Lalu mengakibatkan Pemohon mengalami ketidakpastian hukum terhadap mekanisme hak imunitas yang melindungi advokat dalam menjalankan profesinya dimana advokat tetap dapat dituntut secara pidana saat menjalankan profesinya.

Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 16 UU Advokat bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata dan/atau tidak dapat diproses hukum pidana pada tahap penyidikan dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”. (*) MKRI

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024