Mahkamah Konstitusi Visavis Judisialisasi Politik - Kongres Advokat Indonesia

Mahkamah Konstitusi Visavis Judisialisasi Politik

Rasanya, makin lama konsiderans putusan-putusan MK hanya masuk pada logika statistik hukum terapan, sudah tidak banyak berdasarkan pada keilmuan hukum murni sebagai sumber dan maxim hukum.

Menurut saya, secara konseptual MK dapat memberikan putusan berbeda atas materi muatan yang sama ketika Hakim Konstitusi memaknai norma UU memiliki tafsir baru atau dalam perkembangan situasi yang berbeda.

Artinya, terhadap putusan MK dapat berbeda juga dengan putusan sebelumnya terkait konstitusionalitas norma suatu UU.

Berarti pula bahwa prinsip lex posterior de rogat legi priori, peraturan yang baru akan mengesampingkan peraturan yang lama, artinya putusan-putusan yang terbaru nantinya dapat mengesampingkan atau menawarkan putusan Nomor 90.

Sebagaimana tercantum dalam putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 pada halaman 56 baris ke-24 angka [3.14.3] … penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa dalam hal terdapat dua putusan yang menyangkut isu konstitusionalitas yang sama namun karena petitum yang tidak sama dalam beberapa putusan sebelumnya dengan perkara a quo sehingga berdampak pada amar putusan yang tidak sama, maka yang berlaku adalah putusan yang terbaru. Artinya, putusan a quo serta-merta mengesampingkan putusan sebelumnya. Ihwal pemahaman ini sejalan dengan asas lex posterior derogat legi priori.

Mestinya, Hakim Konstitusi selanjutnya merujuk pada konsiderans ini setelah terjadi polemik pro-kontra terhadap putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Pada permohonan Judicial Reviw Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU- V/2007 tanggal 27 November 2007 salah satu pendapatnya adalah bahwa pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan bukan berarti negara tidak boleh mengatur dan menentukan syarat-syaratnya, sepanjang syarat-syarat demikian secara objektif memang merupakan kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau aktivitas pemerintahan yang bersangkutan dan tidak mengandung unsur diskriminasi.

Merujuk pada hal tersebut maka Mahkamah Konstitusi memberi pendapat bahwa perihal batas usia tidak terdapat persoalan konstitusional sebab, menurut Mahkamah, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan negara. Demikian pula halnya jika pembentuk undang-undang berpendapat bahwa untuk jabatan atau perbuatan hukum tertentu pemerintah menentukan batas usia yang berbeda-beda dikarenakan perbedaan sifat jabatan atau perbuatan hukum itu, hal itu pun merupakan kewenangan pemerintah.

Atas putusan Mahkamah Konstitusi nomor 58/PUU/XVII/2019 terhadap batas usia pencalonan gubernur, bupati, dan walikota dapat disimpulkan didalam pasal 7 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dapat memberi celah penilaian negatif tentang keterbatasan masyarakat dalam berdemokrasi, dimana terdapat syarat-syarat yang memang harus dikaji ulang apakah syarat itu sebagai bentuk perwujudan cita-cita bangsa atau sebagai suatu syarat yang memang tidak mendasar dan tidak memihak kepada demokrasi disamping juga tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 15/PUU- V/2007 tanggal 27 november 2007 yang pada dasarnya putusan itu memberi keleluasaan dalam penetapan jabatan atau aktivitas pemerintahan secara konteks objektif. Kata objektif ini perlu didasari dari undang-undang yang memang mengatur tentang batas umur sehingga terjadi kepastian hukum seperti dalam Kitab Undang-Undang hukum perdata misalnya pasal 330 KUHPER syarat seseorang dianggap cakap hukum adalah berumur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.

Jadi, menurut apa yang penulis baca bahwa penentuan batas usia yang berbeda-beda juga harus mempertimbangkan perbedaan sifat jabatan atau perbuatan hukum, dan juga objektivitas berdasarkan undang-undang yang memang mengatur tentang batas umur, sedangkan dalam putusannya Nomor 90/PUU-XXI/2023 Mahkamah Konstitusi sudah berhati-hati dengan tetap berpendirian tidak mengubah batasan umur sebagaimana batasan kewenangannya.

Apa yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi adalah menafsir berdasarkan relevansi dan sistematika peraturan perundang-undangan yang ada, baik tentang pemilihan umum maupun tentang pemilihan kepala daerah.

Pertanyaanya, apakah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilakukan upaya hukum? Tidak.

Namun Mahkamah Konstitusi dapat mengubah pendiriannya sesuai perkembangan yang ada dan melalui putusannya dalam perkara yang lain dengan konteks materi yang serupa, sehingga sangat terbuka kemungkinan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tetap boleh dieksaminasi.

Jika kita berpikir kepada iure constituendi atau hukum yang seharusnya berlaku maka putusan MK adalah tafsir dari aturan dasar negara/UUD (staatsgrundgesetz) terhadap UU, sedangkan apa yang berlaku, sekalipun itu UUD, tidak boleh bertentangan dengan norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm), jiwanya peraturan perundang-undangan, dimana jika banyak penolakan maka dapat melampaui konstitusi dan tafsirnya sebagai kesepakatan masyarakat.

Konstitusi dapat saja berubah seiring dengan waktu perkembangan masyarakat tapi norma fundamental negara tidak pernah berubah dan tetap dalam 36 butirnya, terutama pada kedua butir yaitu, “musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur, dan keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung-jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

Merujuk pada teori hukum murni Hans Kelsen bahwa “pembentukan hukum harus dibebaskan dari anasir-anasir/unsur-unsur di luar dirinya seperti psikologi, sosiologi, sejarah, politik, dan bahkan juga etika”, artinya putusan MK Nomor 90 tidak bebas nilai dan etika sehingga tidak pantas dijadikan dasar.

Tapi putusan sudah final and binding maka saya bertanya lagi, apakah putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sudah final? Belum.

Mari kita baca Pasal 171 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, berbunyi “seseorang yang sedang menjabat sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota yang akan dicalonkan oleh partai politik atau Gabungan Partai Politik Peserta pemilu sebagai calon presiden atau calon wakil Presiden harus meminta izin kepada presiden.”

Sehingga, menurut penulis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 masih relevan dan tidak keluar dari koridor kewenangannya sebab dalam konteks aquo berkaitan dengan Pasal 171 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum sebagaimana dikutip diatas, apalagi dalam keterangannya pembentuk undang-undang berpendapat bahwa untuk jabatan atau perbuatan hukum tertentu pemerintah menentukan batas usia dan hal itu merupakan kewenangan pemerintah.

Saya pikir disinilah batu uji penerapan dari putusan tersebut visavis UU Pemilu dalam kewenangan pejabat negara dalam situasi politik dan hukum saat ini.

Pertanyaan terakhir hanya akan terjawab berdasarkan reliabilitas pilihan hukum yang akan datang, sehingga apakah trias politika tetap merujuk pada sistem dari Montesquieu dengan kekhususan ranah Yudikatif ataukah beralih kepada John Locke yang artinya fungsi Yudikatif diambil alih sehingga berada dalam kekuasaan lain?

Politiae legius non leges politii adoptandae, artinya politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya, juga dapat dimaknai berdasarkan butir-butir pengamalan Pancasila terutama pada hati nurani yang luhur yang dapat dipertanggung-jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Jujur, penulis justeru lebih khawatir soal embrio juristokrasi atau malah meritokrasi totalitarian pasca pemilu yang bakal menggerogoti hukum terutama kewenangan Advokat ketimbang teralihkan dengan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 ini. Namun, mesti juga melihat bagaimana hasil akhirnya nanti, setiap keputusan akan saling berkelindan sebagai variabel penentu politik hukumnya kedepan.

Penguatan Yudikatif akan menjadi faktor penyelamat hukum yang independen serta bebas dari pengaruh kekuasaan lain secara optimal jika dilaksanakan ketika Advokat (catatan: penulis berbicara tentang Advokat, opera liberia orang bebas yang membebaskan dari opresi dan retorika, bukan pokrol oportunis) secara fair mendapatkan kewenangan setara dengan penegak hukum agar kembali tidak lagi dipandang sebelah mata dan tersubordinat, Advokat sebagai bagian dari organisasi parket di Mahkamah, dan diimbangi dengan embrio Dewan Advokat Nasional yang menjaga marwah officium nobilium.

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024