Tanpa adanya dokumen hukum yang menunjukan pekerja menerima PHK, pemahaman hukumnya adalah hubungan kerja belum berakhir, sehingga hak dan kewajiban tetap harus tetap dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021) telah mengubah, menghapus, dan mengatur baru beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK).
Salah satu yang menarik untuk dilakukan telaah hukum terhadap ketentuan baru tersebut adalah terkait pemberitahuan pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam penerapannya saat ini yang menarik adalah pemberitahuan PHK dikonstruksikan sebagai surat atau keputusan PHK.
Secara empiris, ketika perusahaan memberitahukan PHK kepada karyawan, mereka beranggapan bahwa hak dan kewajiban hubungan kerjanya telah berakhir. Hal yang sama dilakukan oleh karyawan yang setelah menerima pemberitahuan PHK tidak kembali ke perusahaan untuk melakukan kewajibannya. Konstruksi tersebut ditemukan juga dalam beberapa anjuran mediator dan putusan pengadilan hubungan industrial (PHI) yang menjadikan tanggal surat pemberitahuan PHK sebagai pertimbangan hukum untuk menyatakan putusnya hubungan kerja dan perhitungan kompensasi PHK.
Kita mulai dengan dasar hukum pemberitahuan PHK yang tercantum dalam Pasal 151 UUCK dan Pasal 37, 38 dan 39 PP 35/2021. Pada pokoknya ketentuan tersebut mengatur supaya pengusaha, pekerja, serikat pekerja dan pemerintah berupaya menghindari terjadinya PHK. Dalam hal PHK tidak dapat dihindari maka pengusaha memberitahukan maksud, alasan dan kompensasi PHK melalui surat pemberitahuan PHK kepada pekerja dan serikat pekerja apabila pekerja merupakan anggota serikat pekerja, secara sah dan patut paling lama 14 hari kerja. Dalam hal pekerja masih dalam masa percobaan pemberitahuan PHK disampaikan paling lama 7 hari kerja. Kemudian diatur juga mengenai kewajiban perusahaan melaporkan PHK yang diterima oleh pekerja ke instansi ketenagakerjaan.
Pekerja yang menolak PHK dalam waktu paling lama 7 hari kerja harus menyampaikan penolakannya kepada pengusaha, yang kemudian harus dilakukan perundingan bipartit dan apabila tidak tercapai kesepakatan dilanjutkan dengan tripartit (mediasi/ konsiliasi), PHI dan Mahkamah Agung RI (MA), sesuai UU No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
Penjelasan Pasal 37 ayat (3) PP 35/2021, menyebutkan bahwa “Surat pemberitahuan memuat antara lain maksud dan alasan Pemutusan Hubungan Kerja, kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja serta hak lainnya bagi Pekerja/Buruh yang timbul akibat Pemutusan Hubungan Kerja”. Berdasarkan penjelasan Pasal tersebut dapat dipahami bahwa materi surat pemberitahuan PHK hanya memuat maksud atau niat pengusaha melakukan PHK, alasan dan kompensasi PHK yang akan diberikan kepada pekerja.
Maksud atau niat pengusaha dalam surat pemberitahuan PHK tidak bersifat final karena harus menunggu tanggapan pekerja, menerima atau menolak PHK. Dalam hal pekerja menerima PHK, pengusaha wajib melaporkan PHK ke instansi ketenagakerjaan. selain kewajiban tersebut Penulis menyarankan pengusaha dan pekerja membuat dan menandatangani Perjanjian Bersama dan mendaftarkannya ke PHI, kasus empiris menunjukan dokumen PHK berupa exit clearance atau release statement belum dapat untuk mencegah tuntutan atau perselisihan di kemudian hari. Dalam hal pekerja melalui suratnya menyatakan menolak PHK, pengusaha diwajibkan melakukan perundingan bipartit yang apabila gagal dapat dilanjutkan ke tahap tripartite (mediasi/ konsiliasi), sampai dengan PHI dan MA.
Norma atau ketentuan mengenai surat pemberitahuan PHK memberikan pemahaman hukum yang jelas bahwa surat pemberitahuan PHK harus dijawab dengan surat penolakan PHK apabila pekerja menolak di PHK. Dengan demikian juga dapat dipahami bahwa pekerja yang menyatakan menerima PHK, harus dibuktikan juga penerimaan atau pernyataanya baik dalam bentuk surat jawaban pemberitahuan PHK atau exit clearance atau release statement atau Perjanjian Bersama. Tanpa adanya dokumen hukum yang menunjukan pekerja menerima PHK, pemahaman hukumnya adalah hubungan kerja belum berakhir, sehingga hak dan kewajiban tetap harus tetap dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja. Berdasarkan ketentuan Pasal 61 UUCK tidak disebutkan bahwa pemberitahuan PHK sebagai dasar berakhirnya perjanjian kerja.
Persoalan penerapan surat pemberitahuan PHK yang pertama adalah ketika tidak dijawab atau diabaikan oleh pekerja dengan tetap bekerja seperti biasa. Pasal 39 ayat (1) PP 35/ 2021 hanya menyebutkan kewajiban pekerja yang menolak PHK dengan menyampaikan surat penolakan. Dengan demikian apakah pekerja yang diam dan tetap bekerja dapat dipahami sebagai menerima PHK, apabila dipahami menerima PHK apakah dapat dibuktikan penerimaan PHK tersebut dengan surat jawaban pemberitahuan PHK atau exit clearance atau release statement atau Perjanjian Bersama. Artinya pekerja yang tetap bekerja dan mendiamkan surat pemberitahuan PHK dapat dikualifikasikan sebagai menolak PHK.
Mengikuti logika hukum jawaban anjuran mediator, manakala pengusaha atau pekerja tidak memberikan jawaban anjuran atau diam, maka dianggap menolak anjuran (vide Pasal 13 ayat (2) huruf d UUPPHI). Dalam hal diam dan tetap bekerja sebagai bentuk menolak surat pemberitahuan PHK maka langkah pengusaha yang tepat adalah mengikuti ketentuan Pasal 39 ayat (2) dan (3), PP 35/2021 yakni melakukan perundingan bipartite dan tahapan sesuai UUPPHI. Dalam hal demikian perusahaan tidak perlu melaporkan PHK ke instansi ketenagakerjaan karena hubungan kerja belum putus.
Persoalan penerapan surat pemberitahuan PHK yang kedua adalah ketika tidak dijawab/diabaikan oleh pekerja atau dijawab menolak PHK, yang diikuti dengan pengusaha melarang pekerja melakukan pekerjaan atau pekerja yang berhenti bekerja atau kedua belah pihak sama-sama tidak melaksanakan hak dan kewajiban hubungan kerja. Dalam hal surat pemberitahuan PHK diabaikan atau dijawab menolak yang diikuti dengan tidak dijalankanya hak dan kewajiban hubungan kerja, maka harus dibuktikan siapa yang menjadi penyebabnya (pengusaha atau pekerja).
Apabila pekerja yang menjadi penyebabnya maka Penulis sepakat dengan penerapan hukum saat ini yang menjadikan surat pemberitahuan PHK sebagai pertimbangan hukum untuk tanggal efektif PHK dan dasar perhitungan kompensasi PHK. Sebaliknya apabila pengusaha yang menjadi penyebabnya maka hubungan kerja masih berlanjut sampai dengan dinyatakan putus oleh PHI, konsekuensi hukumnya pengusaha dihukum membayar upah atau hak lainya sampai dengan dinyatakan PHK oleh PHI. Dalam hal tidak dilaksanakannya hak dan kewajiban hubungan kerja diakibatkan oleh kedua belah pihak maka dapat diterapkan sama dengan ketika pekerja yang menjadi penyebab tidak dilaksanakannya hak dan kewajiban hubungan kerja.
Beberapa anjuran mediator dan putusan PHI dalam penerapan surat pemberitahuan PHK masih menjadikan tanggal surat pemberitahuan PHK sebagai pertimbangan hukum untuk menyatakan putusnya hubungan kerja dan perhitungan kompensasi PHK, sehingga dalam amar putusan hubungan kerja dinyatakan putus sejak diterbitkannya surat pemberitahuan PHK. Sebelum diaturnya ketentuan mengenai surat pemberitahuan PHK dalam UUCK dan PP 35/2021, PHI dalam putusan PHK lebih banyak menyatakan hubungan kerja putus terhitung sejak dibacakannya putusan, kecuali terhadap kasus tertentu seperti PHK karena mangkir.
Anjuran mediator dan Putusan PHI menerapkan surat PHK sebagai pertimbangan putusnya hubungan kerja dan perhitungan kompensasi PHK, benar dan tepat manakala pekerja atau pekerja dan pengusaha secara bersama-sama tidak melaksanakan hak dan kewajiban hubungan kerja setelah diterbitkannya surat pemberitahuan PHK. Dalam hal dapat dibuktikan pekerja tetap bekerja atau ingin bekerja tetapi dihalang-halangi atau dilarang oleh pengusaha setelah diterbitkannya surat pemberitahuan PHK, sepatutnya hal tersebut dapat menjadi pertimbangan hukum untuk menyatakan bahwa hubungan kerja masih berlangsung dengan konsekuensi upah dan hak lainya sampai dengan hubungan kerja dinyatakan putus oleh PHI. Hal tersebut mendasarkan pada ketentuan Pasal 93 ayat (2) huruf f UUK, yang pada pokoknya pekerja tidak boleh dilarang untuk melakukan pekerjaan yang telah diperjanjikan. Pelanggaran tersebut diancam dengan pidana paling singkat 1 bulan dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10 juta.
Pasal 52 ayat 3 PP 35/2021, pada pokoknya menyebutkan surat pemberitahuan PHK dikecualikan untuk alasan PHK karena pelanggaran bersifat mendesak yang diatur dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Dengan demikian apakah dapat diterapkan sebagai PHK sepihak dari perusahaan karena tidak memerlukan pemberitahuan PHK atau tetap memerlukan proses bipartit, tripartit, PHI & MA. Dalam praktek diketahui masih diterapkannya phk sepihak terhadap pekerja yang melakukan pelanggaran yang bersifat mendesak.
Secara historis alasan PHK sepihak sebenarnya pernah diatur oleh Pasal 158 UUK yang kemudian dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, oleh putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-I/2003 Terkait hal tersebut Mahkamah Agung RI dalam SEMA RI No.3 tahun 2015 juga telah mengatur proses PHK dengan alasan kesalahan berat ex Pasal 158 UUK, dapat dilakukan tanpa perlu menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap. Dalam praktik diketahui materi atau isi kesalahan berat dengan pelanggaran bersifat mendesak identik sama, beberapa alasan memuat pelanggaran yang mengandung unsur tindak pidana. Dalam penerapan hukum PHI dan MA terkait alasan PHK karena kesalahan berat tetap dilakukan melalui proses bipartit, tripartit, PHI & MA. Dengan demikian sepatutnya penerapan Pasal 52 ayat 3 PP 35/2021 menyatakan pengusaha dapat melakukan PHK tanpa surat pemberitahuan PHK tidak dimaknai sebagai PHK sepihak.
Lesson learned dari penerapan surat pemberitahuan PHK adalah:
Pemberitahuan PHK bukan merupakan PHK karena belum bersifat final;
Pemberitahuan PHK tidak otomatis menyebabkan Hak dan kewajiban hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja berakhir, oleh karenanya pekerja harus tetap bekerja kecuali dilakukan skorsing;
Pemberitahuan PHK dikecualikan untuk alasan PHK karena pelanggaran bersifat mendesak, namun tidak berarti menjadi PHK sepihak oleh pengusaha:
Pemberitahuan PHK tidak dapat mengesampingkan keberadaan UUPPHI, sehingga alasan PHK yang tidak diterima pekerja harus dilakukan proses hukum.
Mahkamah Agung RI melalui SEMA telah banyak membantu memberikan jalan keluar dan penyelesaian atas kebuntuan dalam penerapan hukum dibidang ketenagakerjaan, seperti pada SEMA No 3 Tahun 2015, SEMA No.3 Tahun 2018, terakhir SEMA No. 5 Tahun 2021, dll. Harapannya Mahkamah Agung selalu dapat berkontribusi lebih banyak dalam pembangunan hukum ketenagakerjaan Indonesia. HUKUMONLINE
*)Dr. Willy Farianto adalah seorang advokat dan Fasilitator CHRP FH Atma Jaya Jakarta.