Pasal Kontroversi
Pasal 218, 219 tentang tindak pidana terhadap Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, pasal 240 dan 241 tentang Penghinaan Terhadap Pemerintah Yang Sah, Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum, pasal 273 tentang Larangan Demonstrasi Dan Unjuk Rasa Yang Mengakibatkan Terganggunya Kepentingan Umum dan pasal 353 dan 354 tentang Penghinaan terhadap kekuasaan umum lembaga negara menjadi pasal-pasal yang sangat menarik untuk penulis pelajari.
Alasan dipertahankannya pasal-pasal tersebut disampaikan oleh Wamenkumham (Edward O.S Hiariej) dengan argumentasi bahwa yang dilindungi dari kepentingan individu adalah tentang nyawa, property dan dignity (nama baik).
Terkait urgensi pasal 218, dikatakan juga bahwa pemerintah tidak menghidupkan kembali pasal yang dimatikan oleh MK melainkan kepentingannya terhadap serangan terhadap pribadi dan sifat subjektif dari persoonenlijk, menyangkut pribadi presiden dan wakil presiden yang dianggap telah mematahkan sentimen publik, padahal tidak – quad non.
Menurutnya, ini menyangkut presiden sebagai simbol negara, begitu jugaAnggota Komisi III DPR, Saiful Bahri Ruray, namun penulis pikir makna pada lembaga kepresidenan adalah ibarat kepala dari sebuah negara, namun faktanya yang lebih populer justeru legislatif, representasi figur kerakyatan, perilaku wakil adalah cerminan dari rakyatnya.
Berbeda dengan simbol sebagai hal yang terbatas pada tanda konvensional, sesuatu yang dibangun oleh masyarakat dalam arti tertentu dengan standar disepakati atau dipakai anggota masyarakat.” secara “personally” sama sekali tidak berbeda dengan natuurlijk persoon, sifat publik KUHP tidak boleh membedakan status dan jabatan.
Juga tidak persis dengan tindak makar, serangan ditujukan pada figur berkuasa untuk menjatuhkan atau menteror kelompoknya, dan berdampak pada keamanan negara hingga masyarakat.
Overspan Politik
Memang belum ada sanksi jika tidak melaksanakan putusan MK kecuali sanksi moral, berangkat dari hal tersebut, bukankah beralasan jika emosi masyarakat terpancing, oleh sebab persoonlijkheid (kepribadian) yang sangat tidak berkenan menurut awam? Bukankah hal tersebut bisa dikatakan sebagai wujud sanksi moral?
Dan pasal-pasal diatas justeru menghukum moral masyarakat yang sejatinya merupakan dampak psikologis dari interaksi pasif antara pemerintah dengan pemberi perintah, tanpa perlu melihat moralitas dari pemegang status dan jabatan yang dianggap bukti ketinggian moral dan kedalaman ilmu serta keluasan cakrawala pengetahuan.
Jangan-jangan penulis harus membenarkan pendapat Franz Neumann jika diharuskan mendukung pembuat UU bahwa negara otoriter bukanlah Negara tanpa konstitusi. Konstitusi itu ada, tetapi tidak bertujuan untuk membatasi kekuasaan Negara melainkan untuk membatasi kebebasan dan hak asasi warga Negara. [1]
Menurut Maruarar Siahaan [2], putusan MK akan memperhadapkan MK dengan kekuasaan Negara lainnya, yaitu legislatif bersama-sama dengan eksekutif, sebagai badan pembuat undang-undang. Setidak-tidaknya jika putusan tersebut merugikan kepentingan mereka. Oleh karenanya pihak-pihak tersebut cenderung mengabaikan, melawan atau menentang putusan MK, terutama kalau putusan MK merugikan kepentingan politiknya. Dapat dimaknai bahwa hambatan implementasi putusan MK, lebih besar datang dari legislatif dan eksekutif.
Merujuk pendapat Maruarar maka bahkan putusan kehakiman atau antar Mahkamah bisa berlawanan sebab intrusi bahkan intervensi legislatif dan/atau eksekutif?
Padahal, Yudikatif ketika terjadi penetrasi judicialization of politics dapat melakukan judicial activism dan bertransformasi menjadi political institution sehingga menghasilkan putusan yang benar-benar hasil dari pejabat/ahli hukum di bidang yudisial.
Pembangkangan Dengan Fallacy
Mengapa penulis berpendapat ada bentuk pembangkangan dengan fallacy?
Kepala Humas MK, Fajar Laksono Suroso di Gedung MK, Jakarta, Selasa 19 Desember 2017 mengatakan, apabila pasal-pasal penghinaan presiden/kepala negara itu disahkan menjadi UU akan menimbulkan problem konstitusionalitas. Tindakan pembuat UU ini bisa dianggap membangkang putusan MK. “Ada putusan MK menafsirkan begini, lalu pembentuk UU menafsirkan lain, dituangkan dalam UU, dan nanti akan diuji kembali. Seterusnya akan berputar-putar seperti itu,” tegasnya.
Persoalan sebenarnya hanya bersandar pada kesadaran hukum masyarakat. “Menurut saya ini soal rendahnya kultur kesadaran hukum dan berkonstitusi yang cenderung selalu memperdebatkan putusan.” [3]
Sadar atau tidak, tampaknya, kuat sekali prinsip legibus solutus est dimana pemimpin akan berbuat sekehendak hatinya, dan mungkin saja memang terlintas ide otokratik legisme dimana hukum tidak ditujukan untuk melindungi hak masyarakat melainkan sebagai alat kekuasaan untuk kepentingan penguasa.
Pasal dipertahankan sebab masalah etika-moral, padahal, kritik hingga hinaan itu seringkali disebabkan oleh anggapan lack of morallity dari pejabat yang kebijakannya dirasa sangat merugikan rakyat kecil.
Mirip Dr. Rudolf Gneist dalam Das Englische Verwaltungsrecht dan Der Rechtsstaat, Richard S. Kay berbicara rechtsstaat, soal pengaturan penataan hukum, mengandaikan keberadaan machtsstaat, perangkat kekuatan politik yang harus dikendalikan. [4]
Maka, sadar atau tidak, penyimpangan dari rule of law menjadi rule of men mengubah rechtstaat menjadi machtstaat.
Apakah ini konsekuensi dari rapat internal Komisi III bahwa kesepakatan dari periode yang lalu harus dijaga sebagai kesepakatan politik yang disebutkan oleh Taufik Basari, S.H., S.Hum., LL.M. dalam RDP antara DPR-RI dengan pihak Pemerintah yang didampingi oleh beberapa ahli hukum dan staff ahli hukum hari Rabu tanggal 25 Mei 2022?
Kita teralihkan, terpancing dengan membahas perbedaan antara kritik dengan penghinaan, antara delik biasa dengan delik aduan, subjektif sekali tergantung pada persoonlijkheid baper atau tidak, padahal ternyata bukan disitu letak permasalahannya – ini fallacy pertama.
H. Arsul Sani, S.H, M.Si. ingin memastikan apakah pihak pemerintah sudah melakukan diskusi dan pembahasan sebelum disepakati naskahnya, dan sudahkah dilakukan proof-reading dengan para ahli hukum dan penegak hukum.
Pemerintah melalui Prof. DR. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., MA. menanggapi pihaknya sudah mengadakan diskusi dengan ahli hukum lain juga APH melalui 12 sosialisasi dengan respon positif, sayangnya tidak disebutkan juga telah disosialisasikan dengan Advokat.
Tampaknya pemerintah mengesampingkannya, menutup atau membatasi masukan hanya kepada pihak-pihak yang hanya mendukung perumusannya, tidak yang lain.
Dalam paparannya, Albert Aries, anggota tim sosialisasi RKUHP Kemenkumham RI mengutip Putusan MK Nomor 6/PUU-V/2007 [5] untuk memperkuat argumen bahwa MK bisa dibilang telah memperbaiki ratio decidendi-nya padahal poin itu berbicara mengenai perubahan delik formil menjadi delik materiil berbeda lagi dengan delik biasa dan aduan, lalu sekedar menukil frasa tidak bertentangan dengan semangat mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum yang merupakan jiwa (geist) UUD 1945 [6] – ini fallacy berikutnya.
Seringkali pemerintah menguatkan argumen dengan istilah hukum “mala in se”, perbuatan yang asalnya jahat, menunjuk pada hakikat penghinaan, akan tetapi dari pendapat MK pada dasarnya antara perilaku penguasa dengan rakyat sama merupakan delik.
Di satu sisi masyarakat harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pembentuk UU sebagai resultan, namun di sisi lain, masyarakat disuguhkan perdebatan yang lebih mendasar lagi yaitu tentang penolakan pembuat UU atas suara konstitusi yang merupakan resultan.
Apalagi menurut penulis, khusus mengenai pasal-pasal yang dimaksud bukankah lebih tepat juga dihadiri oleh pihak Kemenkopolhukam terkait dengan substansi yang sangat erat dengan issue politik, hukum dan keamanan.
Pengalihan Inkonsitusional
Dalam pembentukannya, RKUHP sebagai UU tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, sebagaimana pendapat MK, “Hal tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang yang, apa pun pilihannya, tidak dilarang dan selama tidak bertentangan dengan UUD 1945.” [7]
Ada baiknya kita membaca lagi Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
Menimbang ….. Penuntutan terhadap pelaku pelanggaran atas Pasal 207 KUHPidana oleh aparat penyelenggara negara memerlukan penyesuaian di masa depan sejalan dengan pertimbangan Mahkamah mengenai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana tersebut di atas;
Menimbang bahwa selain itu, keberadaan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana juga akan dapat menjadi ganjalan dan/atau hambatan bagi kemungkinan untuk mengklarifikasi apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945 ….. karena upaya-upaya melakukan klarifikasi tersebut dapat ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden;
Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat, ….. dalam RUU KUHPidana yang merupakan upaya pembaharuan KUHPidana warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana. [8]
Oleh karenanya frasa penting yang dialihkan dari publik adalah, “Penuntutan terhadap pelaku pelanggaran atas Pasal 207 KUHPidana oleh aparat penyelenggara negara memerlukan penyesuaian di masa depan sejalan dengan pertimbangan Mahkamah mengenai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana tersebut di atas.”
Artinya, pasal 207 mengikuti pertimbangan Mahkamah atas pasal 134, 136 bis dan 137 yang mana pembaharuan KUHPidana warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip – maka terbaca bahwa “secara substansial materi pasal 207 ikut tercabut” – oleh karenanya, penulis berharap agar tidak ada pihak yang menyesatkan masyarakat dengan topik perbedaan antara delik biasa dengan delik aduan karena sejatinya normanya pun sudah kosong.
Apalagi, merujuk pada Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 jo. Nomor 30-74/PUU-XII/2014, maka pasal-pasal 134, 136 bis, 137, 207 dan pasal-pasal yang isinya sama atau mirip bukan merupakan open legal policy karena dapat menjadi ganjalan dan/atau hambatan bagi kemungkinan untuk mengklarifikasi ada tidaknya pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945 bahkan upaya-upaya klarifikasi tersebut dapat ditafsirkan sebagai penghinaan, sehingga pasal-pasal tersebut tidak mempunyai dasar konstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945.
*Adv. Agung Pramono, SH., CIL.
Referensi:
Referensi:
[1] Franz L. Neumann,1986, The Rule of Law, Learnington Spa, Heidelberg, hlm. 179
[2] Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penegakan Hukum Konstitusi, Jurnal Hukum 26, No. 3 Tahun 2009, hlm. 357-378
[3] https://reformasikuhp.org/menyoal-konstitusionalitas-pasal-zombie-di-rkuhp/ diakses Selasa 5 Juli 2022
[4] Richard S. Kay, American Constitutionalism, catatan kaki no. 12, dalam Larry Alexander, Constitutionalism: Philosophical Foundations, New York: Cambridge University Press, 1998, hlm. 51
[5] Indonesia Lawyers Club, https://youtu.be/5Zo4rC6fnRI diakses Jum’at 8 Juli 2022
[6] Putusan MK Nomor 6/PUU-V/2007, poin [3.18.9], hlm. 79
[7] Putusan MK Nomor 30-74/PUU-XII/2014, hlm. 230, baris 17
[8] Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006, hlm. 61