Regulae considerantur iuris, quando rectis principiis applicantur [aturan dianggap sebagai hukum ketika diterapkan dengan kaidah yang benar]
Gagasan coretan ini sebetulnya dipantik oleh seorang kawan, Ibrahim namanya, struktur analitik dalam bentuk metrik pemetaannya harus saya akui keren dan terukur sekali, awalnya diniatkan debat tapi disitu selalu ada rokok, kopi, air mineral, udara luar, dekorasi ala cafe dan pemandangan rumput hijau. Kerapatan retorika argumentasinya deras sekali, tapi teplah ada celah yaitu ketika harus diselingi dengan rokok, ini celah, timing untuk menyisipkan himpunan gagasan dengan segera, singkat, elaboratif tapi tetap kritis. Eh, ada proposisi mba Marni dan mas Achyar disana.
Sebetulnya, di AdvoKAI ada beberapa rekan lain yang juga saya kagumi dan rindukan untuk diskusi kopi, tapi ah… aktivitas profesi, ruang dan waktu belum mengizinkan untuk berkumpul bersamaan lagi.
Unik, di Indonesia lahir Komeng phenomenon. Non-partisan, individu yang dengan caranya diluar persiapan politik umum, bukan pasif tidak juga aktif namun bisa menghidupkan naluri hidup yang ordinary, dan orang lebih memilih itu, murni pilihan, bukan soal suka tidak-suka, tapi matching.
Bagaimana dengan P/G? Suara yang masuk kesana dari keuntungan situasi bonus demografi yang minim validitas dan mereka yang sangat terwakili dengan figur ordinary dan next door banget, sendirian tanpa back-up partai yang (menurut rakyat awam) sudah keterlaluan, awam mesti menganggap perilaku politik sudah hampir meninggalkan peri-kemanusiaan.
Alas pikir rakyat tidak sampai pada apakah itu memang perilaku biasa saja di tubuh partai, tidak akan jauh menganalisa soal penghayatan peran.
Imbasnya, suara yang merasa terwakili dengan pembebasan diri itulah yang mengisi kantong suara P/G, rakyat ingin berkata bahwa saya lebih baik begini, sudah terlalu lama menunduk, orangtua/keluarga kami saja tidak akan berperilaku seperti itu, tega sekali dan itu pernyataan yang disampaikan secara terbuka melalui pemilu ini. Banyak yang gagal membaca mileu, psikologi masyarakat awam dan ini menjelaskan kenapa objektivitas itu hanya retorika belaka di mulut/tulisan padahal kepala sudah terisi bom waktu yang siap meledak sepenuh hati.
Apakah propaganda dinasti menghasut rakyat? Terlalu konyol, sebab peradaban kita adalah dinasti, kita dikelilingi oleh praktek kedinastian. Masyarakat awam lebih tertarik dengan cara yang asik dan bersahaja. 2 situasi yang sebetulnya sama, Komeng adalah pribadi dan Jokowi juga pribadi dan masyarakat mendukung perasaan Jokowi melalui keberadaan anaknya. Masyarakat tidak ingin mengatakan bahwa kami mendukung tapi mereka ingin mengatakan bahwa ini yang mewakili luapan perasaan kami, akumulasi kegeraman terpendam sejak lama. Terbukti bahwa partai tetap stabil dalam perolehan suaranya. Dan itu sama sekali bukan anomali, akan tetapi disparitas itu merupakan fakta yang mestinya menjadi petunjuk untuk introspeksi.
Sama dengan di banyak grup medsos, yang banyak bicara pasti dicirikan sebagai orang yang sangat tidak asik, nggak mikirin perasaan orang lain, sebetulnya baper tapi nggak ngaku, gaduh dengan omong-kosong, data aksiomatik dan pragmatik, akibatnya (dalam satu konteks) kehilangan kawan.
Bicara masalah kecurangan pemilu yang sudah dipersiapkan sejak lama, saya pikir, ini bahkan sudah menjadi kesepakatan awam untuk sama-sama memilih curang, kedaulatan rakyat yang esensiil. Bukan soal kacang lupa kulit, tapi bayi unggas memang harus keluar dari cangkang telurnya dengan memecahkannya supaya bisa hidup dengan kecantikan nalurinya.
Komeng adalah happening art yang jadi bukti kalo negara kita sama sekali bukan otoritarian legalism, melampaui kesepahaman politik, ialah juristokrasi totalitarian, inilah jejak pembuktian bahwa politik selalau khawatir jika tidak dinaungi oleh hukum, tidak sah dan kehilangan hegemoni. Dan fenomena ini tidak ada dalam teori, tapi nyata. Meminjam istilah Immanuel Kant, maka ringan dan tulusnya masyarakat memilih Komeng adalah karena kesenangan, kebebasan dan kedekatan, pure reason yang melumpuhkan banyak teori.
Dalam ranah hukum, seringkali kita lupa bahwa selain materi hukum, uang, kuasa dan filsafat juga ada wawasan psikologi, sayangnya, psyche ini digunakan untuk mempengaruhi, bukan sebagai alat ukur dalam kerangka analitik. Sehingga kehilangan objek yang sekiranya pas untuk dipelajari untuk kemudian menjadi dasar penentuan sikap, gagasan maupun keputusan.
Saya agak sedikit terganggu sebetulnya, lebih ke sedih.
Sebab, dalam kedudukan profesional dalam ranah Yudikatif kenapa sebagian kecil kita mesti khawatir berlebihan dengan kontestasi Eksekutif? Padahal konteksnya fungsi dan peran politik individual, syukur kita masih asik aja disini, syukur banget tidak berlanjut serius dan meradang, karena sudah saling paham.
Bagaimana dengan Legislatif? Sebagian keluarga AdvoKAI ada yang caleg, kenapa kita tidak bantu dorong mereka kesana? Dalam lingkup wilayahnya masing-masing, baik Pusat atau malah Daerah, perkuat saja Legislatif, tokh ini juga bisa sebagai fungsi kontrol.
Diluar penilaian suka atau tidak, saya belajar dari seorang figur Jokowi, dia bukan siapa-siapa ketimbang partainya, dulu, tapi pemikirannya bahkan bisa menggoyang kebesaran dan akar partainya yang jika sudah bergerak bakal super massive, hebat, harus diakui hebat.
Kenapa dia bisa begitu? Menurut saya, karena dia bermodal intens, massive dan terstruktur.
Seperti diruang AdvoKAI, ada saja segelintir bisa mengganggu saya atau malah banyak mungkin sebetulnya banyak yang terganggu.
Tapi, kenapa bisa menganggu? Karena mereka begitu intens, ini yang saya akui keren dan telaten. Sebenarnya hal semacam ini juga terjadi hampir di setiap grup medsos.
Sayangnya, masalah yang saya perhatikan adalah bahwa, selalu, objek yang dishare itu mayoritas memang FYP di medsos, jangankan kita, anak saya saja di medsosnya juga dilalui berita-berita itu, anak-anak SD (kebetulan si kecil kelas 4 SD/MIN) yang sudah bisa chit-chat dengan informasi yang cenderung sama dengan yang dishare.
Dirty Vote atau apalah itu menyampaikan soal mens rea hingga actus reus, tapi dalam konteks ini rasanya lebih tepat saya sebut strategi politik, jadi berdasarkan data dan bukti yang dijabarkan apa yang salah? Sebab itu bukti politik.
Peraturan perundang-undangan dan kode etik bicara soal etika benar-salah, sedangkan politik bicara soal kredo menang-kalah, dimana logika dan relevansinya? Sebab, semua itu 2 hal yang saling beda di ranah yang beda.
UU-nya salah? APH lemah? Tidak juga, sebab pembentuk UU tahu jika ranah kredo tidak akan terjamah dengan aturan, sebab disana cuma terjadi penokohan jahat dan baik secara sadar, sekarang mereka (manusia politik) cuma nyengir santai.
Yang terjadi cuma debat kusir dalam forum demokrasi Orwellianistik. Kita kehilangan objektivitas, seringkali hanya tentang kepentingan, keberpihakan dan keuntungan pribadi yang didapat. Jujurlah saja bahwa memang sejak awal sudah ada modus keberpihakan, apapun alasannya.
Lebih baik dicukupkan saja, jadi kelihatan sangat naif kalo dilanjut, saya tidak berani untuk mendefinisikan sebagai bebal, pandir, konyol atau oblomov, rasanya tidak tepat sebab kita bangsa pekerja keras dan over-thinking dalam konteks gibah.
Kembali ke soalan Eksekutif, sebutlah sekarang dampak sentimen negatif sedemikian massive dan heboh, tapi kalo AdvoKAI bisa menjajagi secara terstruktur dan intens dari ruang Legislatif dan Yudikatif saya percaya bisa berimbang nantinya, jadi kenapa harus khawatir dan cengeng dengan wadulan (mengadukan kejelekan orang supaya dibela atau meraup dukungan)?
Bangun saja kekuatan Advokat diruang Legislatif dan Yudikatif apapun hasilnya nanti, jangan lengah dan teralihkan, maka kuasa Eksekutif bisa jadi relatif dan cenderung terimbangi.
Kita hidup di 2 alam politik, demokrasi republikan, artinya, ketika yang mayor (menang) berkuasa maka yang minor (kalah) diberi hak untuk selalu terlindung dari kekuasaan si mayor, ini kita lupa dan abaikan.
Jadi, kenapa khawatir? Kekuasaan yang meyimpang tidak ideal menjadi masalah?
Mungkin itu karena si minor menuntut secara serampangan jadi mudah dipatahkan, si mayor dengan kekuasaannya hanya sebatas dilindungi UU tapi si minor sebetulnya diatas itu, dinaungi konstitusi bahkan dibela dunia, disinilah proposisi hukumnya, poltik pasti menyentuh hukum untuk hegemoninya. Jadi bila ada penyimpangan maka syaratnya adalah menggoyang dengan kepahaman konstitusional, bukan emosional yang membuahkan kesan serampangan.
Seperti pernikahan, bisa bergoyang ketika memenuhi legalitas dengan klimaks yang baik tanpa ragu – ma’af untuk analogi sensuil usil saya, intermezzo blue jokes.
Malah makin otoriter, kuasa rakyat hanya mati suri, hidupkan saja secara intens lalu biarkan berkembang massive maka bentukan struktur jamur akan tumbuh subur.
Sebagai manusia hukum, Advokat, maka sudah menjadi peran kita untuk menterjemahkan bahasa politik pada masyarakat awam ke dalam bahasa hukum, seperti dewa Hermes, jadi, jalankan amanat rakyat untuk masuk pada ranah hukumnya, bukan malah ikut arus partisan, afilisasi ataupun simpatisan lalu larut dalam aliran emosional, tebal kuping dan tahan malu.
Maxim darimana atau adagium siapa diatas itu yang mengatakan regulae considerantur iuris, quando rectis principiis applicantur? Itu karangan empirik penulis saja, terbantu AI penterjemahan yang secara tata bahasa masih berantakan, bukan dari orang mahsyur, sebab rasanya… seringkali nalar dan naluri hukum kita selalu hilang jika diluar sedang hangat issue politik lalu tergoda dengan argumen absurd soal hak individu dikemas dengan bumbu pengalaman keterlibatan dalam organisasi politik atau malah aktivitas bawah tanah atau apalah, entah benar atau tidak, yang sangat tampak adalah bahwa tolok-ukur kemampuan dan value-nya hanya didasarkan penilaian sendiri, dengan dalih tanpa keberpihakan padahal data yang diduganya objektif sebagai penguat dalil argumentasinya tidak layak untuk reasoning.
*Adv. Agung Pramono, SH, CIL