Pemerintah dan DPR menyetujui bersama RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) disahkan menjadi Undang-Undang. Undang-Undang baru ini mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN).
Salah satu yang penting diperhatikan dalam regulasi baru ini adalah sanksi. Yang terkena sanksi bukan hanya pekerja migrant atau aparatur sipil negara yang terlibat dalam pelanggaran pidana, tetapi juga mengancam korporasi. Tapi tampaknya bukan hanya cakupan sanksi itu yang patut dipahami. Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiiri mengatakan sanksi RUU PPMI lebih berat dibanding UU lama.
“Lebih berat dan tegas dibandingkan sanksi yang diatur dalam UU PPTKILN,” jelas Hanif.
Dilansir dari Hukumonline, dalam RUU PPMI yang sudah disetujui bersama itu dimuat sanksi administratif dan sanksi pidana. Ketentuan pidana setidaknya diatur dalam Pasal 79-87.
Misalnya, Pasal 79 menyebutkan setiap orang yang dengan sengaja memberikan data dan informasi yang tidak benar dalam pengisian setiap dokumen sebagaimana dimaksud Pasal 65 dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak 200 juta rupiah.
Pengaturan sanksi administratif dan sanksi pidana sebenarnya diatur juga dalam UU PPTKILN. Cuma, dalam UU PPMI uraian pidananya lebih dipertegas dan mencakup pula korporasi. Dalam UU PPTKILN masih dikenal jenis pidana pelanggaran, selain pidana kejahatan.
Ditegaskan dalam Pasal 87 UU PPMI, jika tindak pidana dilakukan atas nama korporasi, tuntutan atau penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi atau pengurusnya. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda.
Selain sanksi, jelas Menteri Hanif, masih ada enam poin lain yang penting dipahami dari RUU PPMI. Pertama, penegasan posisi pekerja migran Indonesia dengan warga negara Indonesia (WNI) yang melakukan kegiatan di luar negeri. Tidak semua warga negara Indonesia yang berada di luar negeri sebagai pekerja migrant.
Kedua, jaminan sosial bagi pekerja migran dan keluarganya sebagai bentuk perlindungan. Ketiga, pembagian tugas yang jelas antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan dalam penyelenggaraan perlindungan pekerja migran mulai dari tahap sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja.
Keempat, pembagian tugas dan tanggungjawab pemerintah pusat dan daerah secara terintegrasi dan koordinasi.
Kelima, tugas dan tanggung jawab pelaksana penempatan pekerja migran Indonesia ke luar negeri dibatasi dengan tidak mengurangi kewajiban pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada pekerja migran.
Keenam, pelayanan dan perlindungan pekerja migran dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah melalui layanan terpadu satu atap (LTSA).
Menteri Hanif menegaskan UU PPMI menempatkan pekerja migran Indonesia sebagai subjek yang diselenggarakan secara terintegrasi dan bersinergi dengan pemangku kepentingan.
Upaya itu akan dilakukan mulai dari pemberian dan peningkatan kompetensi calon pekerja migran sampai pemberdayaan ekonomi dan sosial ketika kembali ke kampung halaman atau setelah bekerja.
Terpisah, Jaringan Buruh Migran (JBM) melihat ada perubahan signifikan antara ketentuan yang diatur UU PPMI dengan UU PPTKILN. Tapi, masih ada celah yang luput dari perhatian pemerintah dan DPR.
Sekretariat Nasional JBM, Savitri Wisnuwardhani, mengatakan sebagian substansi yang perubahannya signifikan yaitu defenisi buruh migran dan anggota keluarga telah sesuai Konvensi PBB tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarganya.
Konvensi itu masuk dalam konsideran sehingga pengakuan hak buruh migran lebih banyak ketimbang sebelumnya seperti kebebasan berserikat, perlindungan sosial, ekonomi, dan hukum. Pendidikan dan pelatihan menjadi tanggung jawab pemerintah. sebelumnya diselenggarakan perusahaan pengerah tenaga kerja Indonesia (PJTKI/PPTKIS), sehingga peningkatan keterampilan itu hanya formalitas.
Layanan informasi ketenagakerjaan dan pendataan dilakukan dari desa. Ada kejelasan pembagian kewenangan antara operator dan regulator (Kementerian dan Badan), serta pembagian tugas dan wewenang pemerintah pusat dan daerah.
Asuransi yang selama ini dikelola melalui pembentukan konsorsium sekarang oleh BPJS dalam bentuk jaminan sosial.
Pelayanan LTSA ada di tingkat daerah, sehingga calon pekerja migran tidak perlu jauh ke pusat. Kemudian menghapus KTKLN yang selama ini jadi alat pemerasan kepada pekerja migran. Memperkuat peran atase ketenagakerjaan di luar negeri dan berwenang melakukan verifikasi terhadap agen dan calon pemberi kerja. Tak kalah penting, pengurangan peran PJTKI/PPTKIS.
“UU PPMI juga mengatur tentang sanksi yang bisa dijatuhkan kepada korporasi dan pejabat,” kata Savitri.
Salah satu celah yang dicatat JBM adalah mekanisme penempatan harus melalui PJTKI/PPTKIS. Pekerja migran sektor domestik belum bisa menggunakan jalur mandiri. Perjanjian kerja belum memastikan bisa berlaku di kedua negara dan penyelesaian sengketa tidak memasukan quasi peradilan.
Savitri juga menyebut jaminan sosial belum mencakup resiko yang sering dialami buruh migran seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dan upah tidak dibayar.
Pelibatan masyarakat sangat lemah karena dalam pelaksanaan pengawasan perlindungan pemerintah ‘dapat’ melibatkan masyarakat.
Perihal sanksi juga masih ada celah misalnya, sebagian sanksi tidak mencantumkan hukuman minimal sehingga sangat tergantung putusan hakim. Korban juga berpeluang dijatuhi sanksi, dan pengurus korporasi tidak dipidana. Bantuan hukum diatur dalam hak, tapi tidak diatur dalam bab khusus sehingga tidak dijelaskan mekanismenya.
Padahal perlu dijelaskan bagaimana cara mengakses bantuan hukum, lembaga mana yang dituju, berapa lama penyelesaian sengketa, dan bagaimana pendampingan pengacara.