Legaleraindonesia.com – Pada tanggal 14 Februari 2017 yang baru lalu Mahkamah Agung kembali menyelengggarakan pemilihan Ketua Mahkamah Agung untuk menggantikan posisi Prof. Dr. H.M. Hatta Ali, SH, MH yang telah habis masa jabatannya. Dari pemilihan yang dilakukan oleh Para Hakim Agung itu, M. Hatta Ali memperoleh 38 suara, Andi Samsan Nganro memperoleh 7 suara, serta Suhadi dan Mukti Arto masing – masing memperoleh sebanyak 1 suara. Berdasarkan hasil pemilihan tersebut, maka M. Hatta Ali kembali menempati posisi sebagai Ketua Mahkamah Agung 2017 – 2022.
Terpilihnya kembali M. Hatta Ali sebagai Ketua Mahkamah Agung tentu menimbulkan pertanyaan bagi publik, apakah memang M. Hatta Ali adalah calon yang terbaik yang dimiliki oleh Mahkamah Agung saat ini ? Sudah-kah para Hakim Agung (yang berhak memilih dan dipilih) mendengar dan mempertimbangkan pendapat dan aspirasi publik dalam pemilihan Ketua Mahkamah Agung ? Pertanyaan ini sangatlah wajar karena publik mengharapkan adanya perubahan dan perbaikan ke arah yang lebih baik di Mahkamah Agung.
Banyak kalangan sesungguhnya berharap pemilihan Ketua Mahkamah Agung periode 2017 – 2022 dapat berlangsung secara transparan dan akuntabel, sebab pemilihan tersebut merupakan momentum yang sangat penting bagi Mahkamah Agung untuk lebih concern melakukan reformasi dan pembenahan internal pasca terjadinya berbagai skandal dugaan suap dan dugaan korupsi dilingkungan Mahkamah Agung. Jadi sangatlah beralasan bila pendapat dan aspirasi publik perlu didengar, diperhatikan, dan dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung. Tujuannya sederhana, agar Ketua Mahkamah Agung yang terpilih sesuai dengan kriteria dan harapan publik yaitu figur yang memiliki integritas tinggi, mempunyai kemampuan leadership dan management, berkualitas, berani, tegas, dan profesional. Pengabaian terhadap pendapat dan aspirasi publik adalah langkah mundur dalam upaya mewujudkan Mahkamah Agung sebagai Badan Peradilan Yang Agung.
Terlepas dari alasan apa-pun, di periode kedua kedudukannya sebagai Ketua Mahkamah Agung, tugas yang diemban M. Hatta Ali tidak-lah mudah, ia harus bekerja keras, berani, dan tegas untuk melakukan reformasi dan pembenahan internal di lingkungan Mahkamah Agung dalam upaya membangun kembali kepercayaan publik sekaligus memulihkan citra dan nama baik Mahkamah Agung. Apalagi, pasca reformasi 1998 bergulir, harapan publik terhadap terbentuknya badan peradilan yang merdeka, berwibawa dan profesional belum tercapai hingga saat ini. Kinerja badan peradilan masih sering menuai kritik dari berbagai kalangan terkait penyalah-gunaan jabatan dan perilaku tidak profesional (unprofessional conduct) yang dilakukan oleh baik hakim maupun aparat pengadilan.
Berkaitan dengan itu, M. Hatta Ali sebagai pimpinan puncak Mahkamah Agung, melalui kewenangannya baik di bidang yudisial maupun bidang non yudisial, juga mengemban amanah untuk melakukan reformasi struktural dan reformasi kultural dilingkungan Mahkamah Agung. Untuk melakukan hal tersebut dibutuhkan komitmen, keberanian, ketegasan, dan energi yang tinggi mengingat kompleksnya permasalahan yang ada dan mendera Mahkamah Agung saat ini. Hanya dengan cara seperti itu reformasi struktural, kultural, dan pembenahan internal Mahkamah Agung dapat berjalan dan diwujudkan dalam kenyataan, untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum dan keadilan oleh badan peradilan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945.
Tidak terbantahkan bahwa Mahkamah Agung membutuhkan figur Ketua yang berintegritas tinggi, mempunyai kemampuan leadership dan management, berkualitas, berani, tegas, dan profesional. Hal ini penting dalam upaya-nya melakukan pencegahan dan penindakan secara keras dan tegas terhadap berbagai perilaku judicial corruption, penyalahgunaan jabatan, perbuatan tercela, dan perilaku tidak profesional (unprofessional conduct) dalam proses penegakan hukum yang dilakukan baik oleh hakim maupun aparat dilingkungan badan peradilan. Terjadinya penyalah-gunaan jabatan dan perilaku tidak profesional (unprofessional conduct) itu antara lain disebabkan tidak adanya keteladanan, minim standar etika, dan keringnya pemahaman kalangan hakim dan aparat tersebut terhadap etika profesi hakim dan etika PNS. Sehingga tidak mengherankan jika tidak sedikit hakim bekerja seperti layaknya mesin yang menerapkan pasal undang-undang. Penegakan hukum-pun keluar dari tujuan hakiki penegakan hukum yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Hal ini sangat urgen dalam memulihkan kepercayaan masyarakat terhadan badan peradilan tidak terus terkikis, sekaligus memulihkan citra dan wibawa Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir untuk mencari keadilan bagi pencari keadilan (justiciabelen).
Selain itu, Ketua Mahkamah Agung harus meneladani dan mendorong secara serius agar Hakim Agung dan hakim di bawah Mahkamah Agung tidak sekedar menerapkan hukum dalam penyelesaian perkara, tetapi yang lebih penting adalah mampu menemukan hukum (rechtsvinding) dan menciptakan hukum (rechtsschepping). Sebab yang mencari keadilan itu bukanlah mesin atau robot, tetapi adalah manusia. Hukum berfungsi melindungi kepentingan manusia. Agar manusia terlindungi, maka hukum dan keadilan harus ditegakkan.
Kesan ketertutupan Mahkamah Agung selama ini-pun perlu mulai dibuka untuk memberi akses (access to justice), kemudahan, dan pelayanan terbaik kepada masyarakat, khususnya para pencari keadilan (justiciabelen). Oleh sebab itu, Mahkamah Agung perlu melakukan terobosan agar mampu menerapkan sistem penangan perkara secara online, agar pecari keadilan mudah mendapatkan informasi tentang progres penanganan perkaranya, dan juga adanya aplikasi putusan online. Adalah sebuah ironi, jika ditengah pesatnya perkembangan teknologi informasi, Mahkamah Agung masih menggunakan sistem manual dan konvesional.
Salah satu alternatif solusi yang dapat ditempuh oleh Mahkamah Agung dalam menyelesaikan dan membenahi berbagai permasalahan internalnya adalah menerapkan prinsip Good Governance. Penerapan Good Governance ini sangat urgen dan strategis untuk diterapkan di Mahkamah Agung dan semua tingkat badan peradilan di bawah Mahkamah Agung demi menjamin tegaknya hukum dan keadilan, sehingga visi Mahkamah Agung yaitu “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia Yang Agung” dapat diwujudkan, sekaligus membangun budaya hukum yang transparan, akuntabilitas, dan partisipatif.
Akhirnya, mampu-kah M. Hatta Ali menunaikan semua tugas dan pekerjaan rumah yang kompleks yang telah menantinya itu ? Hanya komitmen, kinerja, dan waktu-lah yang akan mampu menjawabnya. Tapi jika didukung oleh semangat perubahan, keberanian, dan ketegasan tentu memungkinkan bagi M. Hatta Ali untuk menuntaskan semua tugas dan pekerjaan rumah itu. Yang pasti, dalam priode kedua masa jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Agung, M. Hatta Ali dituntut untuk mampu menjadi aktor, motivator, dan katalisator utama dalam melakukan reformasi (struktural dan kultural) dan pembenahan internal secara total dilingkungan Mahkamah Agung. Mari kita tunggu gebrakan dari M. Hatta Ali, apakah ia mampu melakukan perubahan yang signifikan dalam reformasi peradilan atau-kah justru tetap melanggengkan kebijakan anti reformasi peradilan.