Hukumonline.com – Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mengatakan meski pemerintah pusat memberi keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menyusun peraturan daerah (Perda) masing-masing. Namun, dalam konteks hukum administrasi negara, pemerintah pusat berwenang dalam pengawasan preventif baik dalam proses penyusunan Perda dan setelah pengesahan Perda setiap daerah.
“Secara prinsip dalam konteks NKRI dan hukum administrasi, tidak ada otonomi tanpa pengawasan pemerintah pusat. Karena itu, pemerintah pusat berwenang mengawasi Perda termasuk membatalkan Perda,” kata Bagir saat memberi pandangan sebagai ahlidalam sidang pengujian beberapa pasal UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
Permohonan ini diajukan oleh Abda Khair Mufti, Muhammad Hafidz, Amal Subkhan, Solihin, Totok Ristiyono dan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK). Para pemohon mempersoalkan konstitusionalitas wewenang gubernur dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) membatalkan perda.
Bagir menepis pandangan para Pemohon bahwa pengawasan terhadap Perda hanya wewenang MA melalui judicial review. Sebab, pada tataran teoritis ada tiga jenis pengawasan yakni pengawasan yudisial, pengawasan politik, dan pengawasan administrasi. “Evaluasi dalam Pasal 267 UU Pemerintahan Daerah tidak lain bentuk pengawasan administratif yang tidak serta merta bertentangan dengan UUD 1945,” kata dia.
Dengan begitu, kata dia, segala persoalan hukum terkait Pasal 251 dan Pasal 267 UU Pemerintahan Daerah masuk lingkup persoalan hukum administrasi. Sedangkan, persoalan UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA jo Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 masuk lingkup persoalan yudisial yang disebut judicial review dalam proses peradilan. “Jadi, ini dua hal (obyek) yang berbeda yang harus dipisahkan,” kata pria yang juga mantan Ketua Dewan Pers ini.
Dia menerangkan praktiknya akan selalu terjadi polemik dan tarik-menarik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ketika ada pembatalan perda oleh pemerintah pusat. “Kalau terlalu ditarik ke pusat maka menuju ke sentralistik dan desentralisasinya berkurang. Kalau terlalu ke daerah (otonom) dilonggarkan pengawasannya itu terlalu desentralistik,” kata ahli yang dihadirkan MK ini.
Diingatkan Bagir, pembatalan Perda oleh Pemerintah Pusat pun mesti dilihat pokok persoalannya dahulu dan pembatalan Perda dilakukan secara hati-hati. Sebab, mungkin saja sudah ada masyarakat setempat yang menerima akibat berlakunya perda tersebut. Sehingga, jika perda yang berlaku itu dibatalkan, maka bisa menimbulkan persoalan baru.
“Misalnya peraturan daerah membuat aturan pungutan, terus sebagian masyarakat sudah ada yang bayar lalu dibatalkan Pemerintah, bagaimana nagihnya lagi? Berarti ini harus dipikirkan dampaknya sebelum membatalkan Perda,” katanya.
Sebelumnya, Abda Khair Mufti, Muhammad Hafidz, Amal Subkhan, Solihin, dan Totok Ristiyono mempersoalkan Pasal 251 ayat (1), (2), (7), (8) UU Pemda terkait wewenang Gubernur dan Mendagri membatalkan Perda sepanjang bertentangan peraturan perundang-undangan lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Faktanya kewenangan ini potensial disalahgunakan pemerintah pusat yang mengarah resentralisasi meski ada proses keberatan pembatalan perda provinsi/kabupaten ke presiden dan Mendagri.
Menurut para Pemohon wewenang pembatalan perda ini masuk lingkup kewenangan judicial review oleh MA sesuai Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 karena termasuk hierarki peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Para Pemohon meminta Pasal 251 ayat (1), (2) UU Pemda inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai mendagri atau gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan Perda ke MA paling lambat 14 hari setelah ditetapkan. Sedangkan, Pasal 251 ayat (7), (8) UU Pemda minta dibatalkan.
FKHK memohon pengujian Pasal 245 ayat (1) dan (3); Pasal 251 ayat (1) sampai ayat (4); 267 ayat (1) dan (2); Pasal 268 ayat (1); Pasal 269 ayat (1); Pasal 270 ayat (1); Pasal 271 ayat (1); Pasal 234 ayat (1) dan (2); Pasal 325 ayat (1) dan (2) UU Pemda dan Pasal 31 ayat (2) UU MA. Pasal-pasal ini menimbulkan ketidakpastian hukum akibat polemik dan problematika akademis mengenai pengawasan pemerintah pusat dan pengujian norma Perda yang selama ini dualisme. FKHK meminta tafsir MK agar kewenangan pembatalan Perda wewenang MA, sedangkan pemerintah pusat hanya sebatas preview terhadap setiap rancangan Perda.
(Kongres Advokat Indonesia)