Cnnindonesia.com – Direktur Pusat Studi Antikorupsi Universitas Gajah Mada Zainal Arifin menyampaikan pemberantasan pungli harus dilakukan per sektoral, bukan secara makro. Sebab menurutnya, masing-masing sektor memiliki keterkaitan dan karakteristik yang berbeda.
“Yang harus dipikirkan bagaimana menemukan akar persoalannya secara sektoral, satu per satu harus dijawab, jangan secara gelondongan karena pasti tidak akan menyelesaikan masalah,” kata Zainal saat diskusi Membedah Pola Korupsi dan Pungli di Birokrasi di Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, Selasa (18/10).
Dia berpendapat, model pelayanan e-government yang saat ini telah diterapkan di beberapa kota, seharusnya dapat diadopsi secara nasional dan menjadi gerakan bersama. Cara itu sebagai upaya memotong jalur pungli.
Zainal juga mengatakan, fungsi kelembagaan pengawasan yang sudah ada di setiap kementerian atau lembaga perlu dioptimalkan.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Koordinator Indonesian Corruption Watch Agus Sunaryanto mengatakan, berdasarkan kajian internalnya pada periode 2010-2015, pungli berada di urutan kesembilan dari 12 pelanggaran kasus korupsi. Sebanyak 43 kasus telah ditangani kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
“Saya melihat pungli dampaknya terasa kepada masyarakat,” kata Agus.
Dia mengatakan, pemberantasan korupsi memerlukan koordinasi antar lembaga pusat dan daerah. Penguatan aparat pengawas internal pemerintahan (APIP) di setiap instansi juga perlu ditingkatkan. Dia menilai pembentukan satuan tugas pemberantasan pungli oleh pemerintah hanya bersifat sementara.
“Satgas sifatnya temporer, harus ada pembenahan internal. Yang penting mengoptimalkan aparatur pengawas internalnya,” kata Agus.
Agus menuturkan, persoalan pungli berkaitan erat dengan permasalahan keterbukaan data dan informasi. Senada dengan Zainal, Agus juga mengusulkan agar upaya pemberantasan pungli dilakukan dengan optimalisasi e-budgeting dan e-procurement.
Di sisi lain dari perspektif administrasi negara, Deputi Kajian Kebijakan LAN Muhammad Taufiq mengatakan pungli tumbuh subur karena adanya pejabat yang memperdagangkan pengaruhnya. Hal itu ditambah dengan birokrasi yang berbelit, sehingga masyarakat mencari cara mudah untuk menyelesaikan pelayanan publik.
“Persoalan pungli muncul karena birokrasi berbelit sehingga masyarakat mencari jalan pintas, tidak mau repot,” kata Taufiq.
Dia juga menyampaikan upaya pembenahan birokrasi seharusnya tidak hanya sekadar slogan. Tindakan nyata perlu dilakukan untuk pembenahan dan perbaikan atas sistem pelayanan publik.
Taufiq mengatakan, APIP harus berfungsi secara proporsional dan objektif, bukanya malah melindungi kesalahan lembaganya. APIP didesain untuk menemukan celah kelemahan yang harus diperbaiki oleh lembaga.
Selama ini, menurutnya, laporan yang diterima tidak ditindaklanjuti sebagai upaya pembenahan birokrasi. Pimpinan selaku pengambil keputusan justru membiarkannya karena akan merusak nama baik lembaganya.
“Banyak yang enggan menindaklanjuti laporan karena membongkar birokrasi rumahnya sendiri,” kata Taufiq.
(Kongres Advokat Indonesia)