Kompas.com – Peneliti Indonesian Legal Rountable, Erwin Natosmal Oemar, mengatakan bahwa hukuman mati tidak layak untuk diterapkan, walaupun jika nantinya sistem peradilan di Indonesia telah memperlihatkan adanya keadilan.
“Meski tidak ada lagi korban peradilan yang sesat (unfair trial), hukum mati tetap bertentangan karena melanggar konstitusi,” kata Erwin di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Minggu (9/10/2016).
Erwin menuturkan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) yang telah disahkan dengan UU 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR.
Selain itu, kata dia, hak hidup seseorang tidak bisa dikesampingkan dalam kondisi apapun.
Menurut Erwin, adanya peradilan yang sesat dalam bentuk berbagai penyimpangan diindikasi terjadi dalam proses peradilan terpidana mati.
Penyiksaan dan intimidasi, dicurigai Erwin merupakan bagian dari penyidikan yang melekat dalam praktik hukuman mati di Indonesia.
“Ini terindikasi dari pengakuan sejumlah terpidana mati yang mengalami tekanan, kekerasan fisik, dan psikis yang dikaukan oleh penyidik,” ucap Erwin.
Erwin mencontohkan perlakuan yang dialami oelh Zulfiqar Ali. Warga negara Pakistan itu ditangkap pada 21 November atas dakwaan kepemilikan 300 gram heroin.
Menurut Erwin, Zulfiqar disekap, disiksa, dan diancam dibunuh agar menandatangani pengakuan.
“Dia harus dirawat di rumah sakit akibat penyiksaan itu,” ujar Erwin.
(Kongres Advokat Indonesia)