Cnnindonesia.com – Ketua nonaktif Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman resmi mengajukan praperadilan tak berapa lama usai ditetapkan sebagai tersangka penerima suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Senator asal Sumatera Barat itu tertangkap dalam operasi tangkap tangan KPK bersama dua tersangka pemberi suap, yaitu Direktur Utama CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto dan istrinya, Memi.
Ketiganya ditangkap di rumah dinas Irman di kawasan Jakarta Selatan, 17 Oktober dalam satu Operasi Tangkap Tangan (OTT), dengan barang bukti uang sebanyak Rp100 juta. Usai OTT, ketiganya langsung ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
Langkah KPK menetapkan Irman sebagai tersangka dan menahannya ternyata mendapat perlawanan. Irman dengan pertimbangan hukumnya mengajukan praperadilan atas segala sangkaan dan tindakan yang dilakukan oleh KPK terhadapnya.
Praperadilan didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (29/9), dengan nomor registrasi 129/Pid.Prap/2016/PN.JKT.SEL.
Praperadilan dipilih Irman lantaran merasa tidak terima disangka menerima suap. Ia menampik tuduhan memperjualbelikan pengaruhnya agar Perum Bulog memberi kuota tambahan distribusi gula impor di Sumbar kepada CV SB, milik Xaveriandy dan Memi.
Irman juga merasa janggal dengan prosedur penangkapan yang dilakukan oleh KPK. Ia merasa ada maladministrasi, penjebakan, hingga kekerasan verbal yang dilakukan oleh Satuan Tugas KPK saat menangkapnya.
Pengacara Irman, Razman Arif Nasution bahkan menilai, kliennya adalah sosok antikorupsi dan negarawan.
Ia juga menyebut, kekayaan Irman yang berlimpah menjadi alasan utama mengapa kliennya tidak layak disangka menerima suap yang nilainya dianggap kecil, yaitu hanya Rp100 juta.
Jika ditarik ke belakang, gugatan praperadilan Irman menambah daftar tersangka kasus korupsi yang berusaha lepas dari jeratan KPK.
Praperadilan terbaru yang masih berjalan yaitu praperadilan yang diajukan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam. Ia menggugat semua sangkaan yang dilayangkan KPK kepadanya.
Politisi Partai Amanat Nasional itu merasa tak terima disangka menyalahgunakan kewenangannya untuk menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT Anugerah Harisma Barakah, selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sultra.
Ia mengklaim, tidak ada kerugian negara atas tindakannya menerbutkan IUP kepada PT AHB.
Pada sidang perdana di PN Jaksel, Selasa (4/10), Nur Alam menyatakan, KPK tidak memiliki dua bukti yang cukup untuk menyangkanya. Penyidikan KPK juga dianggap tidak sah karena Kejaksaan Agung juga melakukan penyelidikan terhadapnya.
Tak hanya itu, Nur Alam juga menyeret nama Novel Baswedan. Menurutnya, Novel bukan seorang penyidik karena berstatus terdakwa. Hal tersebut dianggap tidak sesuai dengan kode etik KPK.
Dalam persidangan tersebut, Kabiro Hukum KPK Setiadi menyatakan, tindakan KPK sudah sesuai prosedur.
KPK menyatakan ada kerugian negara sekitar Rp3 triliun dari tindakan Nur Alam. Kerugian tersebut berdasarkan analisa ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
Hingga kini, PN Jaksel belum menyimpulkan gugatan Nur Alam, apakah mengabulkan atau menggugurkan. Pasalnya, masih ada tahapn mendengarkan saksi dan ahli untuk menyimpulkan gugatan tersebut.
Digugat Setelah Berdiri
Sejak berdiri pada 2002, KPK juga pernah menghadapi gugatan praperadilan dari sejumlah tersangka, yaitu dari pengacara OC Kaligis, mantan Panitera Pengganti PN Jakarta Utara Rohadi, mantan Menteri ESDM Jero Wacik, mantan Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana, dan mantan Menteri Agama Suryadharma Ali.
Selain itu, gugatan juga pernah diajukan oleh mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina Suroso Atmo Martoyo, mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo. Wakapolri Komjen Budi Gunawan, dan Mantan Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin.
Dari sekian banyak gugatan tersebut, KPK hanya mengalami kekalahan sebanyak tiga kali. PN Jaksel mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Budi Gunawan, Hadi Purnomo, dan Ilham Arif.
Dari ketiga nama itu, dikabulkannya gugatan Budi Gunawan merupakan yang paling menyita perhatian. Budi berhasil mengalahkan KPK usai ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi.
Budi juga tercatat sebagai sosok yang pertama kali mengajukan gugatan praperadilan atas status tersangka dari KPK.
Penetapan tersangka terhadap Budi kala itu juga mengejutkan masyarakat. Ia menjadi tersangka usai namanya diajukan sebagai Kepala Polri menggantikan Jenderal Sutanto ke DPR.
Saat itu, Budi merasa penetapan dirinya sebagai tersangka sangat politis karena setelah namanya masuk ke DPR. Budi juga merasa KPK juga tidak pernah meminta keterangan darinya.
Namun, Hakim Sarpin Rizaldi yang memimpin sidang memutuskan penetapan dan penyidikan Budi tidak sah dan berdasar hukum. Selain itu, surat perintah penyidikan tertangggal 12 Januari 2015 terhadap Budi tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Praperadilan sendiri merupakan hak setiap tersangka. Menurut pasal 1 angka 10 KUHAP, praperadilan menjadi wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur.
Dalam praperadilan, hakim berhak memutuskan sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
Hakim juga berhak memutuskan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
Terakhir, hakim berhak memutuskan permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Kini, publik bisa jadi tetap menunggu apakah KPK kembali dikalahkan dengan ‘serangan balik’ melalui praperadilan atau justru semakin garang memberantas korupsi.
(Kongres Advokat Indonesia)