Hukumonline.com – “Kalau penegakan hukum tidak dilakukan secara profesional, saya minta pejabat-pejabat ini diganti dan diberikan sanksi, tidak cukup hanya copot jabatan, tapi UU bisa menyeretnya dalam tindakan hukum berikutnya. Agar penegakan hukum kita tidak ecek-ecek”. Cibiran itu meluap dari bibir anggota Panitia Kerja (Panja) Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla), Masinton Pasaribu, dalam rapat dengan Polda Riau di Gedung DPR, Selasa (27/9).
Kekesalan Masinton disebabkan penghentian penyidikan perkara terhadap 15 perusahaan dilakukan tidak sesuai prosedur. Misalnya, ketiadaan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) menjadi celah hukum dalam mempersoalkan penghentian penyidikan tersebut.
Setidaknya, terdapat 3 Perundangan yang mesti menjadi perhatian penyidik Polda Riau ketika menangani kasus kebakaran hutan. Yakni, UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No.39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Ketiga beleid itu mengatur pidana terhadap pelanggarnya. “Masa kita tidak bisa menjerat ini Pak,” ujarnya.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu berpandangan penetapan SP3 janggal. Makanya, Masinton bersikeras agar Polda Riau membuka dokumen penyidikan hingga proses penetapan SP3. Bila terbukti janggal maka SP3 diminta dianulir, meski proses praperadilan dapat berjalan.
Brigadir Jenderal (Brigjen) Supriyanto merupakan Kapolda Riau yang baru saja ditarik ke Mabes Polri menjadi Irwil II Itwasum Polri berdasarkan Surat Telegram Kapolri pertanggal 23 September 2016. Supriyanto tidak mengetahui banyak penanganan kasus tersebut. Namun, sepanjang yang diketahui Supriyanto memang hanya terdapat 3 SPDP. Sementara 12 perusahaan lainnya tidak terdapat SPDP.
“Kenapa belum ada SPDP, karena penyidik belum menetapkan tersangkanya siapa, kita hanya berdasarkan hotspot Pak, hanya hotspotnya saja tersangkanya belum ada. Kalau secara detail penyidik kami bisa menjelaskan Pak,” ujar mantan Kapolda Riau itu.
Wadirkrimsus Polda Riau, AKBP Arif Rahman menambahkan, kala itu ia menerima informasi tentang adanya hotspot titik api dari Satgas BPBD dan Kehutanan. Lantaran hanya mengantongi informasi titik koordinat api dan tempat kejadian perkara perusahaan, maka diterjunkanlah anggota kepolisian untuk memeriksa. Kemudian ditemukanlah api atau setidaknya lahan yang bekas terbakar. Ia pun memerintahkan untuk dibuatkan laporan polisi.
“Kemudian setelah dibuat laporan polisi, untuk mendalami pelakunya siapa, saksi siapa, kami perlu keluarkan satu surat perintah penyelidikan, bahwa memang ada kejahatan kebakaran, pelanggaran kebakaran,” ujarnya.
Arif menegaskan hal tersebut masuk ke tingkat penyidikan demi membuat terang pekara sesuai dengan KUHAP. Ketua Panja Benny K Harman mengingatkan Arief agar tidak sembarang menggunakan KUHAP. “Saya hafal KUHAP Pak, jadi bapak jangan salah-salah,” ujarnya.
Masinton menyelak. “Wah lucu ini, masa yang ditersangkakan titik api. Kan ada orang, badan hukum, ini yang ditersangkakan api dong,” ujarnya mencibir.
“Sebentar, biar dijelaskan dahulu,” pinta Benny kepada Masinton.
Arif melanjutkan, dalam proses penyelidikan dan penyidikan pihaknya belum mengetahui pelaku pembakar hutan. Namun, penyidik sudah mengetahui areal milik perusahaan tertentu. Penyidik pun mesti menemui pemilik perusahaan untuk mengetahui siapa pihak yang dapat dimintakan pertangungjawaban. Atas dasar itulah, penyidik mengundang berbagaai ahli kebakaran, kehutanan, ahli perusahaan terbatas.
“Sehingga kami tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas areal perusahaan itu. Sehingga kami belum menentukan siapa tersangka, tapi proses penyidikan membuat terang suatu perkara pidana, telah berjalan Pak,” ujarnya.
Kendati proses penyidikan terus berjalan kala itu, Polda Riau tak juga menemukan tindak pidana. Pasalnya, fakta di lapangan membuktikan sumber api tidak berasal dari dalam kawasan perusahaan PT dimaksud. Kemudian perusahaan izinnya telah dicabut, bahkan perusahaan telah dikuasai oleh masyarakat. “Dari tiga unsur itu kami menghentikan penyidikan,” pungkasnya.
(Kongres Advokat Indonesia)