Hukumonline.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjerat 63 kepala daerah dalam kasus korupsi sepanjang 12 tahun terakhir dengan modus terbesar adalah pidana suap.
Ketua KPK Agus Rahardjo menuturkan pihaknya mengajak masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap calon yang akan maju dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017. Hal itu, sambungnya, merupakan langkah awal untuk menjaga integritas pesta demokrasi tersebut.
KPK menyatakan pihaknya menjerat sedikitnya 63 kepala daerah sepanjang 2004—2016 dengan modus terbesar adalah suap. Kepala daerah yang dimaksud terdiri dari 52 bupati/walikota dan 11 gubernur yang terjerat pelbagai kasus korupsi.
“Yang terbanyak itu modus penyuapan dengan 30 perkara,” kata Agus dalam keterangan resmi yang dikutip CNNIndonesia.com, Rabu (28/9). “Banyaknya kepala daerah yang terjerat, tentu menambah keprihatinan.”
Oleh karena itu, KPK mengimbau para pasangan bakal calon kepala daerah akan maju segera melaporkan harta kekayaannya. KPK sendiri memiliki mekanisme Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara terkait dengan transparansi harta penyelenggara negara.
KPK membuka loket khusus penerimaan LHKPN untuk pasangan calon kepala daerah dalam Pilkada serentak 2017, yakni 21 September—3 Oktober 2016. Agus menuturkan pihaknya akan melakukan verifikasi terhadap semua formulir LHKPN yang diterima.
“Transparansi dilakukan untuk menegakkan integritas sebagai niat politik yang baik untuk menghadirkan kemaslahatan yang lebih luas,” katanya.
Transaksi Melalui Rekening
Terpisah, laporan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) soal dana kampanye pada 2015 merekomendasikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus memastikan semua penerimaan maupun pengeluaran harus melalui rekening.
Para penyumbang, demikian Perludem, harus memenuhi syarat tertentu dengan mengisi formulir, dan menyatakan dana itu legal.
“Pasangan calon tak hanya membuat laporan awal dan akhir, tetapi juga laporan berkala,” kata Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem dalam laporan tersebut. “Laporan harus dipublikasikan secara luas melalui website lembaga penyelenggara Pemilu.”
(Kongres Advokat Indonesia)