Jika RUU Jabatan Hakim Disahkan, Hakim Bukan ‘Monopoli’ MA
Jika RUU Jabatan Hakim Disahkan, Hakim Bukan ‘Monopoli’ MA

Jika RUU Jabatan Hakim Disahkan, Hakim Bukan ‘Monopoli’ MA

Jika RUU Jabatan Hakim Disahkan, Hakim Bukan ‘Monopoli’ MA

Hukumonline.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadwalkan menggelar rapat paripurna guna mengesahkan Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim (RUU Jabatan Hakim) sebagai inisiatif DPR, pada Selasa (03/10) mendatang. Selanjutnya, Komisi III akan membentuk Panitia Kerja (Panja) guna membahas sekaligus menyusun daftar isian masalah (DIM) RUU Jabatan Hakim yang berisi sekitar 50 pasal bersama pemerintah.

Ada satu prinsip penting yang mendasari pengelolaan manajemen jabatan hakim yakni konsep shared responsibility system (pembagian peran dan tanggung jawab) beberapa organ negara dan publik sebagai konsekwensi status hakim sebagai pejabat negara dengan segala hak-haknya. Prinsip ini bakal mengubah sistem satu atap (one roof system) yang selama diterapkan di lembaga peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung.

“Apabila UU Jabatan Hakim ini lahir, nantinya Hakim tidak sepenuhnya ‘monopoli’ MA. Dia (hakim) bekerja untuk publik karena profesinya diatur oleh negara, bukan lagi melalui Peraturan MA,” ujar Staf Analis Komisi Yudisial (KY), M. Ilham saat menyampaikan Catatan KY Terhadap RUU Jabatan Hakim di Jakarta, Selasa (27/9).

Ilham menerangkan sistem penyatuan satu atap resmi berlaku sejak 2004 pasca terbitnya UU No. 4 Tahun 2004  tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai amanat UU No. 35 Tahun 1999  terus-menerus menyisakan “Pekerjaan Rumah (PR)” bagi lembaga peradilan. Adanya program reformasi peradilan yang sudah digaungkan sejak 2003 belum sepenuhnya bisa mengatasi “PR” lembaga peradilan, seperti mafia peradilan, kasus suap, pengaturan perkara, pertimbangan aneh, koneksi pejabat.

“Makanya, konsep shared responsibility system ini diharapkan bisa mengubah arah manajemen hakim yang lebih professional dan berintegritas,” kata dia.

Dia mencontohkan konsep shared responsibility system ini diadopsi dari Perancis, Jerman, dan Belanda. Di sana Mahkamah Agung hanya melaksanakan fungsi pembinaan teknis penanganan perkara. Misalnya, di Jerman menganut sistem 3 atap dimana MA, KY, Pemerintah Jerman berbagi peran. KY bertugas melaksanakan manajemen rekrutmen, promosi-mutasi, dan pengawasan. Sedangkan, Departemen Kehakiman sebagai pelaksana rekrutmen hakim dan MA melaksanksanakan fungsi penanganan perkara.

“Draft RUU Jabatan Hakim ini, DPR kembali memasukkan MA dan KY sebagai pelaksana rekrutmen calon hakim. Padahal sesuai putusan MK No. 43 Tahun 2015, KY tidak berwenang melakukan rekrutmen calon hakim, ini hanya kewenangan MA. Usulan kita agar ‘aman’ rekrutmen hakim melalui Panitia Seleksi dari unsur MA, KY, Pemerintah,” sarannya.            

Dijelasakan Ilham, proses transformasi dari one roof system menjadi shared responsibility salah satu fokus pembahasan RUU Jabatan Hakim selain status jabatan hakim, rekrutmen hakim, promosi-mutasi hakim, penilaian profesi hakim, dan pengawasan kekuasaan kehakiman dengan melibatkan KY. Soal status jabatan hakim, lanjutnya, berimbas pada kemampuan negara dalam memenuhi hak-hak hakim sebagai pejabat negara.

“Penguatan fungsi kontrol (pengawasan) MA dan KY diarahkan pada kejelasan ranah pengawasan, penguatan prinsip akuntabilitas, dan sifat eksekutorial pengawasan yang mengikat,” kata Ilham menjelaskan.

Dia menambahkan draft awal RUU Jabatan saat masuk di Badan Keahlian Dewan (BKD) dari sisi format, redaksional, sistem sebagian besar masih mempertahankan status quo MA. Artinya, hal yang berkaitan dengan peran strategis lembaga lain dan publik dihilangkan. Namun, kini draft terakhir RUU Jabatan Hakim berada di Komisi III DPR yang telah mengadopsi sekitar 60 persen konsep usulan kajian KY ini.

Resistensi MA
Di tempat yang sama, Juru Bicara KY Farid Wajdi mengungkapkan resistensi MA dalam materi RUU Jabatan Hakim selama ini hanya menyangkut usia pensiun hakim dan periodeisasi lima tahun masa jabatan hakim agung. Seperti diatur Pasal 31 RUU Jabatan Hakim yang menyebutkan hakim agung memegang jabatan selama 5 tahun dan dapat ditetapkan kembali setiap 5 tahun berikutnya setelah melalui evaluasi yang dilakukan oleh KY. Nantinya, hasil evaluasi KY disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.

Selain itu, Pasal 51 ayat (2) RUU Jabatan Hakim menyebutkan pemberhentian hakim secara hormat atau pension ketika memasuki usia 60 thn. Sementara untuk hakim tinggi memasuki usia 63 tahun dan hakim agung memasuki usia 65 tahun. “Isu krusial yang menimbulkan resistensi MA soal usia pensiun hakim dan hakim agung dan periodeisasi masa jabatan hakim agung. Aturan ini usul dari DPR agar ada keadilan dalam sistem karier,” kata Farid.

Farid mengatakan sejauh ini MA belum menyatakan resistensinya terkait konsep shared responsibility system yang tertuang dalam RUU Jabatan Hakim ini. “Resistensi MA hanya usia pensiun dan periodeisasi jabatan hakim agung. MA memandang saat hakim mencapai usia tertentu jangankan untuk jadi hakim agung, menjadi hakim karier saja sudah bersusah payah, ini menghambat regenerasi hakim,” katanya.

(Kongres Advokat Indonesia)

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024