Hukumonline.com – Arbitrase sering dipilih sebagai jalur penyelesaian sengketa oleh para pihak. Kelebihan arbitrase dari sisi hukum acara terdapat fleksibilitas yang tetap berada dalam koridor hukum. Di sisi lain, arbiter yang memiliki pengetahuan baik dari segi hukum maupun dari segi teknis, serta ketepatan waktu persidangan, menjadi kelebihan arbitrase itu sendiri sehingga sidang dapat berjalan secara efektif.
Meski sudah menempuh jalur arbitrase, ternyata banyak juga pihak yang tidak puas dengan putusan arbitrase atau tidak tunduk terhadap putusan arbitrase. Dengan pelbagai alasan atau tidak puas dengan putusan arbitrase, para pihak akhirnya mendaftarkan kembali sengketanya ke pengadilan.
Ketua Kamar Pengembangan Mahkamah Agung (MA), Takdir Rahmadi, mengimbau sebaiknya pihak-pihak berperkara atau lawyer patuh terhadap putusan arbitrase dan tidak mempersoalkan putusan arbitrase ke pengadilan. Menurutnya, saat ini banyak lawyer yang sering tidak puas dengan putusan dari arbitrase, kemudian di bawa ke pengadilan.
“Kalau para pihak sudah sepakat untuk menyelesaikan di lembaga arbitrase, sebaiknya mereka patuh terhadap putusan tersebut. Jangan sering tidak puas, lalu diperkarakan lagi ke pegadilan,” ujarnya setelah meresmikan BANI versi Sovereign di Jakarta, Kamis (8/9).
Takdir mengatakan, harus ada kesepamahaman visi antara pihak yang berperkara dengan para lawyer yang mewakili untuk melakukan tahapan arbitrase. Selain itu, dibutuhkan etika dari pada lawyer agar tidak memanfaatkan celah dari Pasal 70 UU Arbitrase.
“Para advokat yang akan membantu pelaku usaha tentunya harus punya visi yang sama. Arbitrase menjadi alternatif pengadilan. Namun Pasal 70 UU Arbitrase kebanyakan digunakan sebagai celah. Alasan pembatal ini juga di exploitasi, namun dibutuhkan etika. Ketika sudah berjanji sepakat dengan arbitrase, seharusnya putusan arbitrase diterima dengan ikhlas. Jangan kemudian dibawa lagi ke jalur hokum. Ini bikin rumit,” ungkapnya.
Pasal 70 UU Arbitrase menyatakan, terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Takdir menjelaskan bahwa arbitras fungsinya mirip dengan pengadilan di sektor perdata guna mewujudkan rasa keadilan kepada pihak berpekara, khususnya para pedagang atau pengusaha. Oleh sebab itu, MA sangat mendukung hidup dan berkembangnya lembaga arbitrase di tengah luasnya arbitrase.
Selain itu, MA sendiri berkepentingan secara tidak langsung dengan lembaga arbitrase karena akan membantu memecahkan masalah bersamaan dengan mengalir arus derasnya perkara yang datang ke pengadilan.
“Arbitrase muncul sebagai alternatif dari pengadilan yang digagas oleh pengusaha. Karena pengadilan rumit sehingga muncul arbitrase yang flexibel, time savingjika dibandingkan dengan proses pengadilan. Dengan dihadirkan arbitrase diharapkan juga membantu pengadilan untuk perkara di luar wilayah kontrol pengadilan,” tuturnya.
Selanjutnya, tambah Takdir, MA ingin melihat lembaga arbitrase berkembang. Selain itu, MA mendukung masyarakat agar menyelesaikan masalah melalui alternatif penyelesaian sengketa, salah satunya arbitrase dan mediasi.
”Kita ingin mendorong masyarakat agar menyelesaikan persoalan perdata melalui mediasi di samping arbitrase. Jika arbitrase ingin berkembang semua harus ada dukungan dari advokat ataupun pengusaha. Advokat, pengadilan, pengusaha harus memiliki komitmen ketika mereka sepakat dengan arbitrase. Jika hasilya dipatuhi, tidak lagi-lagi ke pengadilan. Semua aktor harus mendukung,” pungkasnya.
(Kongres Advokat Indonesia)