Hukumonline.com – Pelaku tindak pidana memiliki 1.001 cara untuk menolak membayar ganti kerugian atau restitusi kepada korbannya. Mereka lebih memilih mengganti kewajiban membayar restitusi dengan hukuman penjara.
Jared Kimball, perwakilan United State Department of Justice (USDOJ) Jakarta, menuturkan, pada kasus pelaku pidana diminta membayar restitusi, korban harus menyertakan bukti-bukti atau dokumen aset mereka yang rusak atau hilang kepada penuntut umum. Bukti itulah yang dijadikan penuntut umum untuk meminta pengadilan menghukum pelaku membayar restitusi.
Masalah ini mendapat perhatian Jared saat bertemu dengan pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Jakarta. Jared diterima langsung Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai didampingi Wakil Ketua LPSK Askari Razak dan Hasto Atmojo Suroyo serta pejabat struktural lainnya.
Jared, pria yang berkarir sebagai penuntut umum sekitar 20 tahun, berkisah di Amerika Serikat saja pembayaran restitusi tak mudah dijalankan. Seorang penuntut umum harus memerhatikan dan melaksanakan hak-hak asasi korban tindak pidana. Hak-hak korban dituangkan dalam sebuah dokumen resmi yang menjadi panduan. “Pada kasus dimana ada kesepakatan pelaku dinyatakan bersalah untuk mendapatkan pengurangan hukuman (plea bargaining), korban juga harus diberitahukan,” kata Jared, seperti dikutip dalam rilis yang diterima hukumonline.
Hanya saja, kata Jared, plea bargaining atau negosiasi mengenai tuntutan biasanya dilakukan sebelum persidangan dilaksanakan. Karena kalau sidang sudah dimulai, sudah tidak ada lagi negosiasi mengenai tuntutan mengingat persidangan yang sudah dilakukan memakan waktu dan biaya. “Plea bargaining ini untuk meringankan beban pengadilan tetapi harus beri solusi bagi semua pihak,” tutur dia.
Apa yang disampaikan Jared menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengenai apakah sistem peradilan pidana di Amerika Serikat juga mengenal konsep restitusi ataukah hanya sekadar menghukum pelaku dan bagaimana dengan pelaksanaannya, termasuk mekanisme korban untuk mendapatkan restitusi tersebut.
Sebab, ungkap Semendawai, pihaknya terkadang mendapatkan kendala pada saat memfasilitasi pengajuan restitusi korban tindak pidana. Banyak pelaku pidana yang menolak membayarkan restitusi dan lebih memilih hukuman penjara. Selain itu, terkadang masih ada JPU yang enggan memasukkan restitusi dalam tuntutannya sehingga kewajiban pelaku membayar restitusi tidak disebut dalam vonis hakim.
Wakil Ketua LPSK Askari Razak juga sempat mempertanyakan implementasi plea bargaining di Amerika Serikat, apakah bisa dilaksanakan setelah sidang dimulai. Selain itu, Askari juga berharap kunjungan perwakilan USDOJ di Jakarta ini bisa dilanjutkan dalam bentuk kerja sama berupa pelatihan atau program lainnya, khususnya terkait perlindungan saksi dan korban.
(Kongres Advokat Indonesia)