Cnnindonesia.com – Direktur Pembinaan Jaringan dan Kerja Sama Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Deddie Rachim membenarkan bahwa komisinya menjadi lembaga pertama yang mendorong Mahkamah Agung untuk membuat Peraturan MA (Perma) tentang Tanggung Jawab Pidana Korporasi. Hal itu dilakukan untuk menjerat korporasi sebagai badan hukum jika terlibat dalam kejahatan korupsi.
“Korporasi memang tidak bis dipenjara, tapi bisa dikenakan sanksi untuk meminalisasi kebijakan korporasi yang curang sebagai badan usaha, dalam bentuk denda atau pembekuan, biar ada efek jera,” kata Deddie kepada CNNIndonesia, Selasa (13/9).
Deddie mengatakan, saat ini Perma tersebut masih ada di MA dan tindak lanjut sepenuhnya ada di tangan MA. Perma ini ditargetkan dapat menjadi petunjuk bagi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pengadilan dalam memproses sebuah kejahatan korporasi.
KPK melalui MA juga melibatkan Kepolisian dan Kejaksaan Agung untuk dalam focus group discusscion tentang Perma tersebut. Hal ini karena, kebingungan yang sama juga dialami oleh polisi dan jaksa dalam menindaklanjuti kejahatan korporasi.
Sejumlah kejahatan korporasi di antaranya yaitu tindak pidana lingkungan hidup, anti-trust dalam persiangan usaha, perlindungan konsumen, dan pasar uang serta pasar modal.
Undang-undang (UU) yang mengatur soal kejahatan korporasi itu pun sudah ada di antaranya yaitu UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Konteks kejahatan di bidang lingkungan hidup, perlindungan konsumen, mengabaikan keselamatan kerja, perpajakan, dan lainnya tersebut tidak dapat menjadi ruang lingkup KPK tanpa ada unsur tindak pidana korupsi dan suap menyuap.
“Kalau Perma ini ditandatangani Ketua MA (Hatta Ali), kami juga masih perlu membuat tahapan atau tata cara soal bagaimana nanti berkas penyidikannya dan lain-lain,” ujar Deddie.
Hakim Agung Gayus Lumbuun mengatakan, Perma tentang Tanggung Jawab Pidana Korporasi dibuat lantaran ada keluhan dari KPK. Dari keluhan tersebut, lantas ditindaklanjuti MA dengan merancang Perma.
Namun Gayus menolak menjelaskan lebih lanjut mengenai Perma tersebut. Menurut Gayus, kejahatan korporasi sebenarnya telah diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
“Korprorasi adalah benda abstrak yang tidak punya niat, dia digerakkan oleh pengurus melalui rapat pemegang saham. Aturannya juga sudah ada, tinggal diterapkan,” kata Gayus kepada CNNIndonesia.com, Selasa (13/9).
Hakim Agung Surya Jaya sebelumnya mengatakan, draf perma telah rampung dan tinggal disahkan. Perma ini nantinya menjadi landasan penegak hukum dalam menindak korporasi yang terlibat dalam kasus korupsi.
“Sudah, tunggu saja sebentar lagi akan ditandatangani,” ujar Surya di Kantor KPK, Jakarta, 9 September lalu.
Laboratorium Ilmu Ekonomi UGM sebelumnya meminta KPK menjerat pengendali utama perusahaan dalam upaya pemidanaan korupsi di sektor swasta.
Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi UGM Rimawan Pradiptyo mengungkapkan, selama ini penjeratan korporasi belum diatur secara rinci. Keberadaan Perma tersebut diharapkan mampu mendoorng KPK menjerat pengendali utama perusahaan.
“KPK dapat menjerat pengendali utama perusahaan, yang biasanya tak kelihatan dalam struktur. Namun dia adalah orang yang mendapatkan manfaat utama perusahaan,” kata Rimawan, beberapa waktu lalu.
(Kongres Advokat Indonesia)