Hukumonline.com – Penerapan pasal pidana pencurian terhadap pelaku cybercrime berbasis elektronik tidak membuat jera para pelaku kejahatan di dunia maya. Hal ini terjadi dalam kasus yang dialami Jacky Risman Djuanda, korban kejahatan cybercrime berbasis transaksi elektronik. Pelaku kejahatan menggunakan transaksi belanja online traveloka dengan kartu kredit sebesar kurang lebih Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) dengan cara menghacker data, yang secara fisik kartu kredit masih dipegang oleh korban.
Kuasa hukum Jacky Risman Djuanda, Muhammad Nur Aris, mengatakan korban baru mengetahui kartu kredit dipergunakan oleh pelaku ketika ada konfirmasi melalui message operator melalui handphone yang menyatakan korban habis melakukan transaksi online yang tidak pernah dilakukannya.
Atas perbuatan pelaku cybercrime, korban melaporkan kepada Bareskrim yang ditangani oleh Kasubdit & Cybercrime Dirtipideksus Bareskrim Polri, sebagaimana dimuat dalam Laporan Polisi: LP/15/I/2015/Bareskrim tanggal 7 Januari 2016, Tersangka (Harris Lintar Wijaya) diduga melakukan tindak pidana pencurian dan transaksi elektronik seperti yang tertuang Pasal 362 KUHP dan atau Pasal 406 KUHP dan atau Pasal 30 Jo Pasal 46 dan 48 UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Trasnsaksi Elektronik (ITE).
Aris mengatakan, dalam pelimpahan berkas perkara yang sudah lengkap (P-21) dari Penyidik Bareskrim kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Utara tanggal 19 Agustus 2016, Tersangka hanya dikenakan Pasal 362 KUH Pidana tentang Pencurian.
Pada sidang Perdana Terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 6 Agustus 2016, dengan perkara nomor: 1106/Pid.B/2016/PNJKT.UTR, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ireine R. Korengkeng, SH. MH mendakwakan Terdakwa telah melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Menurut Aris, penerapan pasal pencurian yang disangkakan kepada Terdakwa Pidana Umum KUHP sungguh merugikan korban, di karenakan barang yang dicuri oleh Terdakwa menggunakan transaksi elektronik kartu kredit secara online, dan Fisik Kartu Kredit masih di tangan korban.
Dia mengatakan, sudah sepatutnya pelaku Cybercrime dikenakan pasal-pasal khusus, bukan pasal pidana umum dengan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik, dan bukan dengan penerapan Pasal 362 KUHP tentang Pencurian disebutkan, “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
“Dakwaan JPU terhadap Terdakwa sangat lemah dan dapat meringankann,” ujar Aris
Dia menjelaskan, padahal dalam penerapan unsur-unsur Pencurian 362 KUHP tidak ada transaksi elektronik, sebagaimana dimaksud elemen-elemennya adalah katagori pencurian biasa sebagai berikut: “Perbuatan mengambil; Yang diambil harus suatu barang; Barang itu harus, seluruhnya atau sebahagian kepunyaan orang lain; Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki’ barang itu dengan melawan hukum”
Sementara, dalam penerapan cybercrime transaksi elektronik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE disebutkan Pasal 30: – Ayat (1) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun. – Ayat (2) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. – Ayat (3) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan”.
Aris mengatakan, ancaman hukuman terhadap pelaku cybercrime menurut UU ITE sudah sangat jelas sebagaimana dalam Pasal 46; – Ayat (1) “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). – Ayat (2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah)”. – Ayat (3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah”.
Proses Persidangan terhadap Terdakwa sudah berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor Perkara: 1106/Pid.B/2016/PNJKT.UTR, Dakwaan Jaksa Penuntu Umum (JPU), sudah berlangsung, Majelis hakim mengagendakan jadwal persidangan lanjutan pada Hari Selasa 13 September 2016 dengan agenda Keterangan Saksi-Saksi termasuk keterangan Saksi Korban yang akan hadir untuk dimintai keterangan. Sebagai pelapor dan korban cyber crime, tidak seharusnya Penyidik dan JPU menerapkan Pasal Pencurian kepada Terdakwa.
Berdasarkan hal tersebut, Aris meminta kepada Kapolri untuk memeriksa para Penyidik IT & Cyber Crime Dittipideksus Bareskrim yang menangani perkara tersebut untuk diperiksa dan dilakukan gelar perkara ulang atas laporan korban. Kemudian, ia meminta Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Pengawasan (JAMWAS) untuk memeriksa dan melakukan investigasi perkara yang ditangani oleh Jaksa Penuntut Umum Pengganti (JPUP) terhadap penerapan Pasal 362 KUHP, bukan UU ITE dalam Dakwaan kepada Terdakwa di pengadilan.
Dia juga berharap Komisi Yudisial melakukan pemantauan terhadap setiap proses persidangan Terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.” Ini sebagai bentuk pengawasan terhadap Hakim untuk menyidangkan secara professional dan idependen,” pungkasnya.
(Kongres Advokat Indonesia)