CNNIndonesia.com – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meyakini pemerintah bakal gagal menjalankan hukuman kebiri meskipun aturan terkait hukuman tersebut berhasil disahkan.
Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga mengatakan eksekusi hukuman kebiri pada umumnya harus mendapatkan persetujuan dari orang yang akan menjalaninya. Ia juga mengatakan dokter punya kode etik yang menyatakan mereka tidak bisa melakukan hukuman kebiri tanpa persetujuan pasien.
“Nanti meskipun ada aturan soal hukuman kebiri, tetap saja hukuman ini tidak bisa dijalankan karena ada kode etik dokter seperti itu. Dan lagi, hukuman kebiri tidak menyelesaikan masalah,” kata Sandra.
Selain itu, Sandra mengatakan hukuman kebiri secara kimiawi hanya bersifat sementara sehingga harus diberikan berulang-ulang agar efektif mengurangi hasrat seksual.
“Nantinya siapa yang akan mengawasi pelaku tetap mendapatkan pengobatan tersebut? Ketika pelaku di dalam penjara maka situasinya akan aman, namun siapa yang bisa menjamin ketika dia keluar?” ujarnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila mengatakan hukuman kebiri yang diterapkan di negara-negara lain juga memerlukan persetujuan dari terpidana.
“Dokter tidak akan melakukan tindakan medis atas dasar hukuman dan tidak akan melakukan tindakan yang berakibat menurunnya kondisi psikologis dan fisik. Terbayang sulitnya melaksanakan itu,” kata Laila.
Selain itu, Laila juga mengkritik pemerintah yang belum melakukan kajian secara komprehensif terkait efektivitas hukuman kebiri dalam menekan kekerasan seksual.
Berdasarkan data Lembaga Perlindungan Anak, sejauh ini terdapat 21.689.797 kasus pelanggaran hak terhadap anak, di mana sebanyak 58 persen merupakan kejahatan seksual.
Sementara itu, data Komisi Perlidungan Anak Indonesia menyebutkan ada 22 juta anak yang mengalami kekerasan sepanjang 2010 hingga 2014, di mana sebanyak 42 persen di antaranya merupakan kasus kejahatan seksual.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan draf peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) kebiri saat ini sudah berada di Kementerian Hukum dan HAM. “Dikaji di Kementerian hukum dan HAM. Akan segera selesai,” ujar Puan ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (4/2) lalu.
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise mengatakan tambahan hukuman kebiri yang direncanakan pemerintah sebaiknya dipandang sebagai pengobatan dibandingkan hukuman.
“Ada banyak data dan referensi yang menjelaskan bahwa kebiri dilaksanakan untuk pengobatan agar penjahat seksual berubah, bukan sebagai hukuman,” kata Yohana saat konferensi pers di Kementerian PPPA, Jakarta, Senin (2/11).
Ia mengatakan hukuman kebiri dipertimbangkan pemerintah sebagai bentuk perhatian bagi pemulihan korban. Si pelaku difokuskan untuk menjalankan rehabilitasi agar saat kembali ke masyarakat tidak mengulangi perbuatannya.
Adapun, Perppu tersebut rencananya akan dikeluarkan pemerintah sebagai perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hukuman tambahan kebiri diatur dalam pasal 81 ayat 4 draf tersebut.
Pasal 81 ayat 4 tersebut berbunyi: “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu, atau hilangnya fungsi reproduksi, dan atau korban meninggal dunia, maka pidananya ditambah sepertiga dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1, serta dijatuhi pidana tambahan berupa hukuman kebiri kimia, paling lama sesuai dengan pidana pokok yang dijatuhkan.”
Kemudian, keterangan di bawah pasal itu menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kebiri kimia adalah memasukkan bahan kimiawi anti androgen, baik melalui pil, atau suntikan ke dalam tubuh pelaku tindak pidana kejahatan seksual dengan tujuan memperlemah hormon testosteron.
(Kongres Advokat Indonesia)