Hukumonline.com – Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Neng Djubaedah menilaikonsep pasal perzinaan, pemerkosaan, dan pencabulan sesama jenis dalam KUHP bertentangan dengan jiwa dan roh Pancasila dan UUD 1945. Sebab, pada hakikatnya agama-agama di Indonesia melarang seks bebas dan hubungan sesama jenis atau yang saat ini dikenal lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Hubungan seks hanya dibenarkan melalui perkawinan yang sah.
“Jadi, segala aturan yang bertentangan nilai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, terutama Sila Ketuhanan Yang Maha Esa bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Neng Djubaedah saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian KUHP di Gedung Mahkamah Konstitusi, Senin (01/8).
Dia menegaskan Penjelasan Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga menempatkan Pancasila sebagai dasar, ideologi negara sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Dia mencontohkan dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak ada klausul pasal yang menyatakan “calon orang tua angkat bukan pasangan sejenis.” Artinya, UU Perlindungan Anak tidak mengakui pasangan sejenis dan perzinaan dalam arti luas.
Ia berpendapat paham LGBT tidak boleh masuk dalam materi peraturan perundang-undangan. Karena itu pula ia mendukung maksud dari materi pengujian KUHP yang diajukan para pemohon.
Ahli pemohon lainnya, dokter Dewi Inong Irana, menyimpulkan hal yang sama bahwa fenomena seks bebas dan perkawinan sejenis melanggar nilai-nilai Pancasila, terutama Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurutnya, fenomena munculnya penganut free sex dan perkawinan sejenis dengan dalih HAM hakikatnya bertentangan dengan Pancasila.
“Bagi saya, persoalan seks bebas dan LGBT bukan hanya perdebatan HAM atau agama (melarang), tetapi masalah utamanya lebih pada dampak kesehatan berupa berbagai penyakit kelamin menular dan HIV AIDS yang dapat menghancurkan kualitas dan ketahanan nasional,” ujar dokter spesialis kulit dan kelamin FKUI ini.
Karena itu, dia sangat mengkhawatirkan apabila fenomena LGBT yang sudah masuk Indonesia disahkan melalui peraturan perundang-undangan. “Bagaimana kalau LGBT disahkan di Indonesia, bagaimana? Nilai Pancasila kita diletakkan dimana ?” keluhAnggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin (Perdoski) ini.
Pendapat Neng Djubaedah dan dokter Inong memperkuat pandangan ahli-ahli sebelumnya yang sudah dihadirkan pemohon. Pandangan para ahli ini untuk menjawab permohonan yang diajukan 12 orang warga negara. Prof Euis Sunarti (Guru Besar IPB) dan 11 pemohon lainnya mempersoalkan aturan perzinaan (Pasal 284 KUHP), pemerkosaan (Pasal 285 KUHP) dan homoseksual (Pasal 292 KUHP).
Aturan itu dinilai mengancam ketahahan keluarga di Indonesia yang pada akhirnya mengancam ketahanan nasional. Sebab, pada hakikatnya agama-agama di Indonesia melarang perzinaan di luar perkawinan (Pasal 284 KUHP), melarang pemerkosaan kepada siapa saja (Pasal 285 KUHP) dan melarang hubungan sesama jenis (Pasal 292 KUHP).
Para Pemohon meminta agar pasal-pasal tersebut dimaknai bersyarat agar sejalan dengan norma agama yang berlaku di Indonesia. Misalnya, memperluas makna perzinaan dalam Pasal 284 KUHP yang tak hanya terbatas salah satu pasangan atau keduanya terikat perkawinan (27 BW), tetapi mencakup hubungan badan dilakukan pasangan yang tidak terikat pernikahan. Sebab, secara a contrario Pasal 284 KUHP bermakna persetubuhan suka sama suka di luar perkawinan bukan tindak pidana (praktik prostitusi).
Berlakunya frasa “perempuan yang bukan istrinya” dalam Pasal 285 KUHP pun seharusnya dimaknai menjadi “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa…”. Sebab, dimaknainya frasa “perempuan yang bukan istrinya” menjadikan korban perkosaan tak hanya wanita, tetapi bisa terjadi terhadap laki-laki termasuk perkosaan terhadap sesama jenis.
Selain itu, frasa “yang belum dewasa” dan frasa “sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa” dalam Pasal 292 KUHP menunjukkan negara hanya memberi kepastian perlindungan hukum terhadap korban yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, dan tidak memberi perlindungan terhadap korban yang telah dewasa. Bagi Pemohon, tidak ada kebutuhan lain mempertahankan produk zaman kolonial selain harus ditegaskannya kembali nilai-nilai agama sebagai pedoman hidup bermasyarakat dalam hukum positif negara.
(Kongres Advokat Indonesia)