Beritasatu.com – Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai revisi UU KPK merupakan wujud sesat berpikir dari DPR RI. Menurutnya, sesat berpikir tampak dalam empat poin revisi UU KPK yang dianggap DPR memperkuat KPK, namun justru memperlemah KPK.
Keempat poin yang dimaksud Abdul adalah pembentukan dewan pengawas KPK, pemberian wewenang Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), penyadapan yang dibatasi dan KPK tak berwewenang merekrut penyelidik dan penyidik sendiri.
“Dari empat poin revisi yang diusulkan DPR jelas terungkap upaya pelemahan KPK. DPR hanya ingin mengelabui saja dengan mengatakan bahwa revisi UU KPK akan memperkuat keberadaan KPK, tetapi justru memperlemah KPK,” ujar Abdul di kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Minggu (14/2).
Poin pertama, katanya dewan pengawas yang akan diangkat presiden dan di antaranya bertugas mengawasi kerja KPK dalam melaksanakan kewenangannya merupakan kesesatan berfikir. Pasalnya, selain bukan merupakan bagian dari “unsur penegak hukum” yang diberi wewenang yudisial, keberadaan dewan pengawas juga berpotensi mengintervensi kerja KPK.
“Padahal, mekanisme hukum untuk mengawasi dan mengontrol kerja KPK sudah tersedia. Di samping itu sebagai sebuah lembaga Negara DPR kerapkali mengawasi aktivitas KPK dengan cara memanggil untuk didengar keterangan dan laporan kinerjanya,” ungkap dia.
Secara yuridis, kata Abdul ada mekanisme hukum untuk mengawasi KPK, misalnya melalui praperadilan dan judicial review MK. Bahkan, kata dia jika komisioner KPK melakukan tindak pidana penyalahgunaan wewenang, bisa diproses secara pidana. “Karena itu, juka dewan pengawas dipaksakan kehadirannya, dapat dipastikan ditujukan untuk melemahkan KPK,” tandasnya.
Kedua, lanjut Abdul, pemberian wewenang SP3 kepada KPK terlalu berlebihan. Hal ini berpotensi disalahgunakan oleh komisioner KPK baik karena kepentingannya sendiri maupun akibat intervensi kekuasaan politik dan uang.
Dikatakan Pasal 44 UU KPK menyatakan, jika dalam tingkat penyelidikan telah didapat dua alat bukti yang cukup, penyelidik dapat menyerahkan kepada komisioner. Karena itu kemudian KPK dapat langsung menetapkan tersangka bersamaan dengan menaikan ke tingkat penyidikan. Sebaliknya, jika dalam tahap penyelidikan tidak ditemukan bukti, maka penyelidikan dihentikan. Pada tahap penyelidikan ini KPK menerapkan SP3 (penghentian pnyeldikan) untuk tidak meneruskan ke tingkat penyidikan.
“Jadi perkara-perkara yang sampai ke tingkat penyidikan bahkan ke Pengadilan Tipikor adalah perkara-perkara yang telah cukup alat buktinya. Jika KPK diberikan kewenangan SP3 pasti akan banyak pihak mengintervensi dan menekan komisioner KPK untuk meng-SP3-kan kasus yang ditangani. SP3 membuat KPK mudah diintervensi dan berpotensi besar disalahgunakan oleh komisioner KPK,” terang Abdul.
Ketiga, terkait penyadapan yang harus mendapat izin dari dewan pengawas. Menurut Abdul, usulan tersebut merupakan kesesatan berpikir karena dewan pengawas bukan pelaksana penegakan hukum, sehingga tidak bisa diberi wewenang perizinan. “Hal ini akan mengacaukan sistem hukum yang ada. Izin penyadapan ini juga rentan dengan intervensi politik dan kebocoran informasi, di tengah masifitas korupsi,” jelas dia.
Sementara poin KPK tidak berwewenang rekrut penyelidik dan penyidik sendiri, menurut Abdul membuat KPK tergantung pada instansi lain dan KPK sulit merekrut penyelidik dan penyidik yang berintegritas dan profesional untuk memberantas korupsi.
(Kongres Advokat Indonesia)