Kai.or.id – Tertangkapnya seorang advokat oleh KPK baru-baru ini semakin memperkuat sinyalemen bahwa dunia peradilan kita saat ini masih kotor dan penuh dengan transaksional.
Ini memperlihatkan kepada kita tentang wajah dunia advokat yang sebenarnya. Di satu sisi kita mengutuk habis praktek-praktek suap-menyuap seperti itu. Namun disisi lain kita telah dihadapkan pada satu situasi yang tidak bisa dihindari. “Bila tidak ikut, jangan harap perkara kita bisa selamat,” kurang lebih seperti itulah kira-kira kedaannya.
Presiden KAI, Adv. Tjoetjoe S. Hernanto menyatakan, selama transaksi jasa pengacara masih dibayar dengan uang tunai, maka mustahil kita bisa mengurangi kemungkinan terjadinya suap-menyuap di dunia peradilan.
“Saran Saya harus ada aturan tentang larangan penggunaan uang tunai untuk membayar honor atau jasa hukum seorang pengacara,” terang Tjoetjoe.
“Bayar pengacara sebaiknya ditransfer saja. Hari gini kok msh ada yang senang mainan uang tunai,” kelakarnya.
Dan transaksi antara klien dengan pengacaranya sebaiknya dilakukan dalam bentuk rupiah. Tidak boleh menggunakan mata uang asing. Memang dalam hal suap, sebagai Advokat posisi kita ini sangat dilematis. Bila ikut kita salah, bila tidak ikut perkara kita kalah.
(Kongres Advokat Indonesia)
Proses dari penyidikan harus zero kolusi dan kitab hukum acara pidana harus direvisi kewenangan penahanan harus pada jaksa dan uu avokat harus direvisisi tentang mendampingi jangan pasiv tapi diperluas lagi
Perang melawan suap hanya akan berhasil bila integritas, nilai moral dan agama melekat kuat pada penegak hukum. Penawaran dan permintaan akan suap tidak bersambut pada penegak hukum yang memiliki nilai nilai tersebut. Akhirnya fakta fakta hukum jua lah yang akan menjadi pemenang, meskipun sang penegak hukum harus berjuang extra lebih keras dan lebih memakan waktu dengan satu keyakinan bahwa Tuhan YME bersama orang-orang yang beriman.