Cnnindonesia.com – Juru bicara Mahkamah Agung Suhadi tak menampik banyaknya pihak yang ingin mempengaruhi putusan hakim dalam suatu perkara. Berbagai cara pun dilakukan, salah satunya dengan menyuap hakim.
“Banyak pihak yang mempengaruhi agar putusannya sesuai dengan yang diinginkan. Imbalannya pasti dengan uang atau mungkin fasilitas lain,” ujar Suhadi saat dihubungi Kamis (26/5).
Tak hanya hakim, pihak panitera hingga staf di lembaga peradilan pun tak luput dari jerat korupsi tersebut. Suhadi menyebutkan, pihak yang ingin menyuap ini biasanya mengajukan permintaan melalui calo perkara yang ada di lembaga peradilan.
Permintaannya pun beragam, mulai dari pengaturan majelis hakim, merekayasa saksi, hingga munculnya tarif tertentu untuk mempercepat atau memperlambat proses putusan sebuah perkara.
Lebih lanjut Suhadi menuturkan, bukan pekerjaan mudah mengawasi tiap aktivitas yang dilakukan hakim. Sebab hal itu telah menjadi tanggung jawab ketua pengadilan negeri setempat.
Perkembangan teknologi saat ini pun, kata dia, semakin mempermudah sejumlah pihak yang ingin mempengaruhi putusan hakim.
Tanpa perlu bertatap muka, kedua pihak bisa melakukan transaksi melalui sambungan telepon atau surat elektronik. Namun kemudahan ini justru menjadi kendala bagi pihak MA lantaran tak bisa mendeteksi transaksi yang dilakukan kedua pihak.
“Akhirnya baru ketahuan setelah KPK menangkap dan memberikan bukti kalau ada percakapan itu di telepon,” katanya.
Berbagai upaya perbaikan di lingkungan lembaga peradilan diakui Suhadi telah dilakukan secara maksimal. Mulai dari perbaikan modul kerja bagi hakim hingga penyusunan kode etik telah dilakukan sejak lama.
Pun jadwal pelatihan dan pembinaan yang rutin dilakukan bagi hakim. Sejumlah hakim bermasalah selama ini juga telah dikenai sanksi melalui majelis kehormatan hakim.
Namun upaya tersebut nyatanya tak mampu mencegah perilaku korupsi yang dilakukan hakim. Suhadi berpendapat perlunya evaluasi kinerja dari tahap awal rekrutmen hingga penempatan kerja hakim.
Dia menganggap proses rekrutmen hakim selama ini belum berhubungan dengan perilaku korupsi yang ada di lembaga peradilan. “Berarti ada sistem yang perlu diperbaiki. Nanti ini yang harus dievaluasi lagi,” tutur Suhadi.
(Kongres Advokat Indonesia)