Jawapos.com – Penolakan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantaan Korupsi makin deras. Setelah sejumlah fraksi di DPR menolak, kali ini giliran para pakar hukum yang mengkritisi. Pengacara yang sering berhadapan dengan KPK, Maqdir Ismail meminta DPR fokus merevisi mengatur hal-hal yang selama ini rentan menjadi masalah.
Contohnya, revisi terhadap pasal 21 UU KPK. Pada pasal itu, pimpinan KPK hanya disebut sebagai penyidik dan penuntut umum. Menurut Maqdir, pasal tersebut rentan menjadi masalah bagi KPK.
“Harusnya ditegaskan saja dalam pasalnya bahwa pimpinan juga berperan sebagai penyelidik. Sebab, wewenang KPK kan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,” jelas pria yang menjadi pengacara Komjen Budi Gunawan, Ratu Atut, dan R.J. Lino itu.
Maqdir juga setuju adanya pengaturan soal surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Dia mencontohkan kasus korupsi yang melibatkan Bambang W. Soeharto yang sakit dan tidak mungkin lagi diadili. Karena tak punya kewenangan SP3, Bambang tersandera menjadi tersangka seumur hidup.
Bambang yang terjerat kasus suap kepada kepala Kejari (Kajari) Praya, NTB, itu sempat dihadirkan di persidangan deÂngan terbaring di atas bed rumah sakit. Selain itu, ada saran agar legalitas penyidik yang diangkat KPK diatur khusus dalam UU agar tidak lagi jadi bahan perdebatan di praperadilan.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Refly Harun menilai, dari sisi perspektif kekuasaan, revisi UU KPK bertujuan menghilangkan eksistensi lembaga tersebut.
“Sepertinya revisi ini sengaja dilakukan mereka yang takut diawasi KPK. Sehingga tujuannya jelas, menghilangkan eksistensi KPK,” terang Refly dalam diskusi di Jakarta kemarin.
Menurut Refly, pembentukan dewan pengawas juga bisa menjadi portal penghalang bagi kerja KPK yang sudah on the track. Dia mempertanyakan dasar KPK harus diawasi struktur dewan.
Apalagi, selama ini kinerja KPK sudah dengan sendirinya terkontrol pengadilan tipikor. “Faktanya, sampai saat ini 100 persen kasus KPK itu dinyatakan terbukti. Apa yang mendasari KPK harus dikontrol dewan pengawas,” ujarnya.
Pengamat hukum Bivitri Susanti juga melihat adanya ketidakjelasan tujuan revisi UU KPK. Dia setuju memang ada hal yang harus diperbaiki dari KPK. Namun, menurut dia, sejauh ini bentuknya bukan dengan merevisi UU. Apalagi, revisi dilakukan sesuai dengan draf yang beredar selama ini.
(Kongres Advokat Indonesia)