Cnnindonesia.com – Rancangan draf revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang tengah dibahas Dewan Perwakilan Rakyat memuat larangan penggunaan bendera dan lagu kebangsaan untuk keperluan komersial. Menurut peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Anggara, pemerintah tidak semestinya membuat larangan itu.
“Pemakaian bendera negara untuk reklame atau iklan komersial kenapa harus dikriminalisasikan? Banyak bendera yang digunakan untuk iklan saat ini,” kata Anggara di Jakarta, Senin (23/5).
Larangan yang disebut Anggara berada pada pasal 281 draf revisi KUHP. Pasal itu mengatur, pengguna bendera negara untuk reklame atau iklan komersial akan dipidana dengan hukuman penjara paling lama lima tahun atau denda paling besar Rp120 juta.
Anggara berkata, jika draf revisi KUHP disahkan tanpa perbaikan, hukuman serupa juga akan menjerat penggubah lagu Indonesia Raya untuk kepentingan komersial.
Terhadap pengaturan itu, Anggara menilai pemerintah membatasi kebebasan masyarakat. Padahal, kata dia, kepopuleran lagu kebangsaan itu dapat meluas jika aransemennya digubah.
Selain peraturan terkait lagu dan bendera nasional, sejumlah kelompok masyarakat sipil menemukan banyak aturan yang tidak pas dalam rancangan draf revisi KUHP.
Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djaffar, menyebut draf itu mengandung banyak pasal yang potensal digunakan penegak hukum untuk mengkriminalisasi masyarakat.
“Pasal 220 sampai pasal 786 RKUHP, mengatur kriminalisasi yang berlebihan. Dalam konteks pembatasan kebebasan berekspresi, larangan paling banyak ditemukan di bab tentang proteksi keamanan negara,” ujarnya.
Pada forum serupa, Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah mengaku heran atas pencantuman kembali delik penghinaan Presiden dan Wakil Presiden pada RKUHP. Ia berkata, tahun 2006 lalu Mahkamah Konstitusi telah menyatakan peraturan mengenai penghinaan kepada kepala negara bertentangan dengan UUD 1945.
Roichatul menyatakan, para pembuat undang-undang seharusnya tidak memasukkan lagi delik tersebut ke KUHP. Menurutnya, persoalan penghinaan antar subyek hukum sepatutnya menjadi permasalahan perdata.
“Sebenarnya untuk seluruh pasal penghinaan nama baik, semangat yang didorong oleh Komnas HAM adalah dekriminalisasi. Masukkan saja sebagai urusan antarorang,” ujar Roichatul.
(Kongres Advokat Indonesia)