Cnnindonesia.com – Kejaksaan Agung mulai mempelajari hubungan antara kebijakan bekas Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan dengan kasus dugaan korupsi pada pengadaan terminal gas apung (Floating Storage and Regasification Unit/FSRU) Lampung oleh PT Perusahaan Gas Negara.
Menurut Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus Arminsyah, untuk mempelajari kaitan antara Dahlan dengan kasus FSRU Lampung, penyidik Kejagung pun menggelar ekspose atas kasus tersebut.
“Kami cek kebijakannya, ada surat Menteri BUMN (Dahlan), karena pertimbangan pasokan gas dari aron dipindahkan ke Lampung jadi untuk (penyaluran) di Medan itu dengan pipa. Ini lagi dibahas, apakah kebijakan ini yang menyebabkan kerugian atau memang ada penyimpangan,” kata Arminsyah di Gedung Bundar Kejagung, Jakarta, Selasa (17/5) malam.
Pada awalnya, FSRU hendak dibangun di kawasan Belawan, Medan, Sumatera Utara, 2011 silam. Namun, Dahlan mengganti proyek FSRU di Medan dengan revitalisasi kilang oleh PT Pertamina.
Pada 2012, proyek FSRU pun dipindahkan ke Lampung dan pengerjaannya selesai dua tahun kemudian. Kemudian, pada 2014 PT PGN mulai menjual 40,5 juta kaki kubik gas per hari ( Million Standard Cubic Feet per Day/MMSCFD) dari FSRU Lampung ke PLN untuk dialirkan ke Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap Muara Tawar di Bekasi.
Namun, kontrak jual-beli gas dengan harga US$ 18 per MMBtu tersebut tidak dilanjutkan sejak Januari tahun lalu. Tetapi, sejak kerjasama usai, PGN terus membayar biaya sewa dan operasional FSRU.
Atas potensi kerugian itu, Kejagung pun menduga ada tindak pidana korupsi dalam pengadaan FSRU di Lampung. Lembaga swadaya masyarakat Energy Watch Indonesia juga menduga ada kerugian dalam proyek bernilai US$ 250juta itu. Kerugian timbul karena tidak ada manajemen risiko dari PT PGN dalam pembangunan FSRU Lampung.
Selain kerugian pembayaran biaya sewa dan operasional FSRU, Energy Watch Indonesia juga menilai investasi menara sandar kapal senilai US$ 100juta pada FSRU terlalu tinggi harganya.
Kemudian, pembangunan jaringan pipa lepas pantai sepanjang 30 hingga 50 kilometer dari FSRU Lampung ke jaringan transmisi Sumatera Selatan-Jawa Barat, dan fasilitas penjualan pendukung lainnya sebesar US$ 150 juta, dianggap terlalu mahal harganya.
(Kongres Advokat Indonesia)