Detik.com – Penyidik KPK tengah mendalami proses penetapan kontribusi tambahan 15 persen yang dimintakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Raperda itu menjadi latar belakang terjadinya penyuapan dari perusahaan pengembang kepada anggota DPRD DKI M Sanusi.
Hari ini, Senin (16/52016), penyidik KPK menjadwalkan sejumlah pemeriksaan terhadap saksi serta tersangka. Untuk saksi, ada 5 orang yang dipanggil yaitu Zainuddin, anggota DPRD DKI Jakarta Bestari Barus dan Yuke Yurike, karyawan PT Agung Sedayu Group Syaiful Zuhfi alias Pupung dan Kadis Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan Pemprov DKI Jakarta Darjamuni. Kelimanya diperiksa untuk tersangka Ariesman Widjaja.
Selain itu, penyidik KPK juga melakukan pemeriksaan kepada 2 orang tersangka yaitu Ariesman Widjaja dan Trinanda Prihantoro. Ariesman sendiri telah dijemput dari tahanan dan segera menjalani pemeriksaan.
“Hari ini, penyidik KPK menjadwalkan AWJ dan TPT untuk diperiksa sebagai tersangka,” ucap Plh Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati ketika dikonfirmasi.
KPK memang tengah mendalami proses penetapan tambahan kontribusi 15 persen tersebut. Salah satu tersangka yang juga ditanyakan perihal itu adalah M Sanusi yang diungkapkan oleh pengacaranya, Krisna Murthi, beberapa waktu lalu.
KPK pun menduga adanya tarik menarik kepakatan antara perusahaan pengembang dan Pemprov DKI dalam penetapan tambahan kontribusi tersebut. Malahan ada pula dugaan adanya barter pembayaran tambahan kontribusi tersebut dengan sejumlah proyek Pemprov DKI.
“Penyidik tentu mendalami apa saja yang terkait dengan izin reklamasi,” kata Yuyuk.
Terkait tambahan kontribusi tersebut, Ahok telah mengakui bahwa dia menggunakan ‘perjanjian preman’ untuk mengakomodasi hal tersebut. Padahal pasal mengenai kontribusi tambahan seharusnya dimasukkan dalam raperda yang belum juga disahkan oleh DPRD DKI.
“Kalau perjanjian itu kan kamu suka sama suka, berarti kuat dong. Kerja sama bisnis kok. Ya kalau enggak ada perjanjian kan enggak kuat. Makanya sebelum saya tetapkan itu, saya ikat dulu pakai perjanjian kerja sama,” ucap Ahok beberapa waktu lalu.
Perjanjian yang disebut Ahok sebagai ‘perjanjian preman ‘ itu dibikin melalui rapat dengan pihak pengembang yaitu PT Agung Podomoro Land tanggal 18 Maret 2014. Saat itu Ariesman juga hadir dalam rapat tersebut.
Ahok menganalogikan Pemprov DKI sebagai preman resmi yang memiliki kewenangan untuk menarik kontribusi tambahan kepada pengembang reklamasi. Hanya saja, dasar hukum untuk menarik kontribusi tambahan itu berada di dalam raperda yang belum disahkan sehingga dia menggunakan ‘perjanjian preman’ tersebut.
Sejurus kemudian, Ahok mengakui bahwa PT Agung Podomoro Land telah membayar kontribusi tambahan tersebut dengan dasar ‘perjanjian preman’ itu. Namun PT Agung Podomoro Land disebut Ahok baru membayar sekitar Rp 200 miliar.
“Sekarang pertanyaannya, Podomoro sudah serahkan berapa? Dia baru serahkan ke kita Rp 200-an miliar dari (kewajiban atas proyek) yang sudah dikerjakan” kata Ahok, Kamis, 12 Mei 2016.
Kontribusi tambahan itu disebut Ahok sebagai syarat agar pengembang mendapatkan izin untuk melakukan reklamasi. Padahal sejauh ini, raperda yang seharusnya menjadi landasan reklamasi masih mandek di DPRD DKI karena berbau rasuah dan tengah diusut KPK.
(Kongres Advokat Indonesia)