Cnnindonesia.com – Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengkritik keputusan Mahkamah Konstitusi yang menganulir kewenangan jaksa mengajukan peninjauan kembali. Menurutnya, keputusan MK tersebut akan menguntungkan terduga pelaku tindak pidana, termasuk para koruptor.
Prasetyo berkata, MK lebih fokus melindungi pelaku tindak pidana. Akibatnya, kata dia, proses pencarian keadilan menjadi tidak seimbang.
“Tampaknya MK lebih dikuasai pemikiran memberikan perlindungan berlebihan pada pelaku kejahatan. MK melupakan sisi lain pencari keadilan, yaitu korban,” ucap Prasetyo pada keterangan tertulisnya.
Prasetyo memaparkan, selama ini PK yang diajukan jaksa didasarkan pada yurisprudensi keputusan Mahkamah Agung. Yurisprudensi itu, kata dia, merupakan sumber hukum untuk mengatasi kekosongan hukum.
“Kini pintu itu ditutup rapat-rapat dan dirampas MK,” tuturnya.
Kamis (12/5) pekan lalu, MK telah menyatakan pasal 263 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan konstitusi jika ditafsirkan secara berbeda.
Pasal itu mengatur, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan PK ke MA.
Menurut hakim MK, pasal 263 ayat 1 KUHAP mengatur, hak mengajukan PK hanya dimiliki terpidana dan ahli warisnya. Jaksa disebut tidak memiliki hak yang sama.
“Esensi landasan filosofis lembaga PK ini ditujukan untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya sebagai bentuk perlindungan HAM, bukan kepentingan negara atau korban,” kata Hakim MK, Aswanto.
Putusan MK itu keluar pada sidang uji materi yang diajukan Anna Boentaran, istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali, Djoko Tjandra.
Djoko, tahun 2009 silam, divonis hukuman dua tahun penjara pada tingkat PK. Hingga tingkat kasasi, Djoko dinyatakan tidak bersalah.
Sebelum dieksekusi Kejaksaan Agung, Djoko melarikan diri. Kini ia diduga sejumlah pihak berada di Papua Nugini.
(Kongres Advokat Indonesia)