Kompas.com – Warga Bukit Duri, Jakarta Selatan, Selasa (10/5/2016) lalu, mengajukan gugatan secara berkelompok atauclass action melawan Pemprov DKI Jakarta yang akan menertibkan permukiman mereka.
“Selama menjalankan proses program normalisasi ini, pemerintah telah melakukan beberapa tindakan melawan hukum, maka warga minta program ini dihentikan,” kata kuasa hukum warga, Vera WS Soemarwi di Sanggar Ciliwung, Bukit Duri, Kamis kemarin.
Tindakan melawan hukum tersebut dianggap terjadi karena Pemkot Jakarta Selatan dalam sosialisasinya tidak pernah menyebutkan dan membuktikan jika lahan yang ditempati warga adalah milik Pemprov DKI.
“Kami sudah mengungkapkan sejarahnya bahwa dari jaman Tarumanegara, lalu pemerintahan Belanda, sampai Indonesia, mereka tinggal di sini secara turun temurun,” kata Vera.
Warga Bukit Duri menganggap Pemprov DKI Jakarta melanggar hukum dan ingkar janji jika tetap memaksakan penertiban. Vera menyinggung pada 16 Oktober 2012, Joko Widodo selaku Gubernur DKI Jakarta kala itu berjanji tidak akan menggusur kawasan Bukit Duri.
Jokowi saat itu menyatakan ingin menata kawasan Bukit Duri dengan membangun Kampung Susun Manusiawi Bukit Duri (KSM-BD).
“Revitalisasi dengan cara dibangun kampung susun manusiawi. Kemudian, jaraknya 5 meter dari kali dan akan dilakukan pelebaran sungai hanya 20 sampai 35 meter,” kata Vera.
Namun setelah Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menggantikan Jokowi sebagai gubernur, rencana penggusuran kawasan Bukit Duri mencuat. Padahal, Vera meyakini ada ratusan warga di sana yang memiliki sertifikat hak milik tanah dan bangunan.
Warga yang mengajukan gugatan berasal dari RW 10, 11, dan 12 Bukit Duri. Ketiga RW tersebut rencananya akan ditertibkan akhir Mei 2016.
Pemprov DKI Jakarta sebelumnya menertibkan sejumlah permukiman di dekat Bukit Duri, seperti Kampung Pulo, untuk membangun trase Kali Ciliwung dari Pintu Air Manggarai hingga Kampung Melayu, Jakarta Timur. Bukit Duri menjadi salah satu permukiman di bantaran Kali Ciliwung yang ada dalam rencana normalisasi tersebut.
Pada Januari lalu, sebagian warga Bukit Duri dari RW 10 sudah ditertibkan Pemkot Jakarta Selatan. Mereka juga sempat menggugat surat perintah bongkar ke PTUN yang dianggap cacat hukum.
Warga hanya meminta agar penataan tidak merugikan mereka. Pasalnya, sebagian dari mereka mengaku memiliki sertifikat serta akta. Karena itu, ganti rugi menjadi alternatif yang tepat.
“Usulan kami sederhana, kalau ganti rugi itu tukar guling lahan. Karena prinsip relokasi itu kondisi kehidupan sesudah direlokasi harus lebih baik daripada sebelumnya. Kalau kualitas hidupnya semakin hancur, yang tadinya punya lahan disuruh menyewa rusunawa di Rawa Bebek, apakah ini memanusiakan warga?” kata seorang tokoh warga Bukit Duri, I Sandyawan Sumardi.
Hal yang sama disampaikan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Ia mendukung warga Bukit Duri mengajukan gugatan. Menurutnya, dalam kehidupan bernegara, pemerintah seharusnya melindungi dan mengayomi rakyat. Ia juga optimis, pengadilan akan memberi putusan yang adil bagi semua pihak.
“Legal standing tak perlu dipersoalkan, sekarang banyak keputusan pengadilan yang mengabulkan gugatan warga karena memiliki legal standing. Kita harapkan bagaimana nanti pengadilan responsif terhadap apa yang tumbuh di tengah masyarakat,” kata Mahfud di Sanggar Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta Selatan, Kamis.
(Kongres Advokat Indonesia)