3 Persoalan Hukum Penghambat Industri Financial Technology
3 Persoalan Hukum Penghambat Industri Financial Technology

3 Persoalan Hukum Penghambat Industri Financial Technology

3 Persoalan Hukum Penghambat Industri Financial Technology

Hukumonline.com – Saat ini, di Indonesia tengah berkembang usaha teknologi keuangan (financial technology/fintech). Fintech adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu inovasi di bidang jasa finansial. National Digital Research Centre (NDRC) mendefinisikan konsep fintech mengadaptasi perkembangan teknologi yang dipadukan dengan bidang finansial yang diharapkan bisa menghadirkan proses transaksi keuangan yang lebih praktis, aman serta modern.

Fintech merupakan bagian dari e-commerce karena berbasis portal web. Layanannya adalah menjadi perantara antara penyedia dana dengan pihak yang membutuhkan pinjaman. Ada banyak hal yang bisa dikategorikan ke dalam bidang fintech, diantaranya adalah proses pembayaran, transfer, jual beli saham dan masih banyak lagi.

Prospek di sektor tersebut dinilai sangat menjanjikan. Hasil riset Oliver Wyman yang merupakan lembaga konsultan manajemen internasional, mencatat potensi pembiayaan fintech di indonesia mencapai AS$130 miliar. Sebagian besar potensi itu ditargetkan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Partner Law Firm Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP) menjelaskan, fintech acapkali dimanfaatkan oleh individu-individu yang membutuhkan alternatif investasi. Karenanya, mereka kebanyakan melakukan transaksi dengan jumlah nilai yang tidak banyak, namun volumenya tinggi. Tak heran, kebanyakan pengguna jasa fintech adalah UMKM.

Sayangnya, hingga saat ini masih banyak isu dalam industri fintech. Mulai dari soal perlindungan konsumen, risiko operasional hingga masalah hukum. Pasalnya, belum ada regulasi yang spesifik mengatur fintech di Indonesia.

“Terkait dengan kekosongan hukum, sementara ini industri fintech berpatokan pada kitab undang-undang hukum perdata (KUHPer) yang mengatur urusan pinjam-meminjam,” ungkap Erwin di Jakarta, Selasa (26/4).

Kendati demikian, Erwin mengakui bahwa ketiadaan aturan membuat beberapa kendala. Ia menjabarkan, dari sisi pemberi dana muncul masalah mengenai risiko dana yang tidak dapat kembali. Meskipun, menurut Erwin berdasarkan pengalaman yang telah dijalankan oleh pelaku fintech, risiko kredit macet sangat kecil.

Masalah lain adalah terkait perizinan, terutama ketika institusi tersebut ingin mengurus kredit dan asuransi. Menurut Erwin, urusan izin perusahaan menjadi cukup pelik. Sebab, menyangkut pula masalah rekening perusahaan. Erwin menjelaskan, selama ini sistem pencairan pinjaman fintech dilakukan dengan transfer antar bank. Sehingga, sebelum dana dikucurkan kepada debitur harus ditampung di dalam sebuah rekening.

Nyatanya, pelaku usaha fintech kerap menemui kesulitan dalam membuka rekening atas nama perusahaannya. Sebab, salah satu syarat administrasi pembukaan rekening itu adalah izin perusahaan. Erwin menuturkan, pihak perbankan senantiasa mempertanyakan jenis izin perusahaan fintech karena mengumpulkan dana dari masyarakat.

Sementara itu, Erwin melihat dari sisi debitur juga perlu pengaturan yang jelas. Selama ini, ia mengatakan assessment terhadap pihak-pihak yang layak diberikan pinjaman belum baku. Ia mengatakan, assessment yang dilakukan biasanya menggunakan jasa pihak ketiga dengan sistem tersendiri.

“Pemerintah seharusnya bisa mengeluarkan aturan terkait dengan proses verifikasi itu. Sehingga, kepercayaan masyarakat terhadap industri ini semakin meningkat,” ujarnya.

Oleh karena itu, Erwin menegaskan bahwa perusahaan fintech harus memiliki aturan hukum yang jelas untuk meminimalisir risiko yang bakal ditimbulkan di kemudian hari. Jika aturan hukum sudah jelas, maka gerak perusahaan pun akan menjadi lebih leluasa untuk meningkatkan performa kinerja perseroan. Ia optimis, pengembangan fintech bisa mendorong ekonomi nasional dan terus semakin berkembang.

“Kabar baiknya, saat ini Otoritas Jasa Keuangan tengah menggodok peraturan yang mengatur mengenai industri fintech ini. Kita berharap semoga aturan tersebut dapat segera diterbitkan,” tambah Erwin.

(Kongres Advokat Indonesia)

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024
Presidium DPP KAI Kukuhkan 15 AdvoKAI & Resmikan LBH Advokai Lampung
July 20, 2024
Rapat Perdana Presidium DPP KAI, Kepemimpinan Bersama Itu pun Dimulai
July 3, 2024
Tingkatkan Kapasitas Anggota tentang UU TPKS, KAI Utus 20 AdvoKAI untuk Ikut Pelatihan IJRS
June 26, 2024