Tempo.co – Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari mengatakan sekitar 980 peraturan daerah di seluruh Indonesia bersifat diskriminatif dalam soal gender, terutama terhadap perempuan.
Menurut Eva, jumlah Perda yang diskriminatif terhadap kaum perempuan itu berdasarkan temuan Komisi Nasional Anti Kekeran Terhadap Perempuan atau yang biasa disebut Komnas Perempuan. “Pemerintah seharusnya menghapus perda-perda diskriminatif itu,” kata Eva ketika dihubungi Tempo, Kamis, 21 April 2016. Eva diwawancarai ihwal perlindungan terhadap perempuan berkaitan dengan peringatan Hari Kartini.
Eva menjelaskan, perda yang diskriminatif itu kebanyakan berkaitan dengan perempuan atas nama agama dan moralitas. Dalam perda itu mengatur tata cara berpakaian perempuan hingga pembatasan jam malam bagi perempuan.
Menurut Eva, dari yang diuraikan dalam perda-perda diskriminatif itu, diketahui banyak daerah yang terlalu mengatur cara berpakaian perempuan. “Paling banyak di Jawa Barat,” ujarnya.
Ihwal perda yang mengatur pembatasan jam malam bagi perempuan, di antaranya di Tangerang. Dalam perdanya ditentukan setiap perempuan harus berada di rumahnya masing-masing paling lambat pukul 22.00 WIB. Jika ditemukan perempuan yang belum berada di rumahnya setelah jam itu, ditangkap. “Bagaimana kalau ada perempuan yang baru pulang ke rumah di atas jam itu karena harus bekerja lebur, apakah juga harus ditangkap,” ucap Eva.
Selain mengkritik perda yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan, Eva mengatakan peringatan Hari Kartini harus dijadikan momentum bagi peningkatan kualitas perempuan, baik dari sisi eksternal maupun internal. Dari sisi eksternal, kata Eva, pemerintah atau masyarakat harus menciptakan kondisi yang memungkinkan perempuan untuk maju. Sedangkan secara internal, perempuan harus berani menjadi patner yang setara bagi laki-laki. “Perempuan harus lebih produktif,” tuturnya.
Perempuan, menurut Eva, jangan selalu hanya dipusingkan oleh urusan rumah tangga. Perempuan sebagai istri harus bisa membagi peran dengan laki-laki yang menjadi suaminya untuk dapat mengerjakan urusan rumah tangga. “Beban rumah tangga jangan ditanggung sendiri oleh istri. Suruh suami ikut mengurus rumah tangga.”
(Kongres Advokat Indonesia)