Hukumonline.com – Resmi sudah Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) disahkan. Aturan tersebut menjadi rujukan pemerintah dalam mengatasi segala persoalan krisis keuangan global yang kerap berdampak pada keuangan dalam negeri.
“UU ini secara tegas mengatur bahwa penanganan permasalahan perbankan diutamakan menggunakan sumber daya bank itu sendiri dan pendekatan bisnis tanpa menggunakan anggaran negara,” ujar anggota Komisi XI Andreas Eddy Susetyo di Gedung DPR beberapa hari lalu.
Menurutnya,kehadiran UU PPKSK setidaknya diharapkan dapat membawa perubahan positif di sektor keuangan dalam negeri. UU PPKSK mengamanatkan penyelesaian perbankan dilakukan oleh bank bersangkutan. Hanya saja bila belum berhasil, maka penanganan bank bermasalah dapat dilakukan dengan dukungan Bank Indonesia(BI), khususnya persoalan likuiditas. Sedangkan persoalan solvabilitas ditangan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Indonesia pernah menjadi negara yang mengalami krisis keuangan. Nah melalui UU PPKSK, presiden berdasarkan rekomendasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dapat memutuskan dilakukannya restrukturisasi perbankan oleh LPS. Ruang lingkup stabilitas sistem keuangan dalam UU PPKSK meliputi sektor fiskal, moneter makroprudensial, mikroprudensial, pasar keuangan, infrastruktur dalam sistem pembayaran dan sistem penjaminan simpanan dan resolusi bank.
Andreas berharap UU PPKSK menjadi sarana dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sebab dengan begitu, UU PPKSK menjadi jawaban terhadap kondisi perekonomian dalam negeri kekinian. “Keberadaan UU ini akan menjadi landasan hukum bagi lembaga-lembaga sistem keuangan untuk berkoordinasi dalam menjaga dan menciptakan stabilitas sistem keuangan,” katanya.
Menilik era di penghujung 90-an, Indonesia pernah didera badai krisis keuangan. Menurutnya, Indonesia ke depan mesti memperbaiki sistem keuangan. Sebab dengan begitu, Indonesia menjadi lebih tangguh dan dapat bertahan dalam menghadapi krisis keuangan setiap saat. Menurutnya, krisis keuangan global pada 2008 menjadi catatan penting terkait mekanisme koordinasi dalam rangka menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan.
Andreas juga memastikan, UU ini akan menjadi landasan hukum yang melengkapi UU sektoral yang selama ini telah ada yakni UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, UU No.24Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, UU No.21Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
“UU PPKSK menjadi jawaban atas kondisi tersebut. Keberadaan UU ini akan menjadi landasan hukum bagi lembaga-lembaga sistem keuangan untuk berkoordinasi dalam menjaga dan menciptakan stabilitas sistem keuangan,” harap Andreas.
Terpisah, anggota Komisi XI lainnya Eva Kusuma Sundari mengatakan UU PPKSK merupakan penguatan dari regulasi sebelumnya. Namun iakhawatir dengan mekanisme pertanggungjawaban terkaitdana talangan dalam merestrukturisasi bank sistemik. Pasalnya, dana talangan yang digunakan pemerintah tidak menggunakan dana APBN.
“Itu saya agak membingunkan, saya khawatir bertentangan dengan UU lainnya karena kan harus menggunakan APBN. Saya khawatir tidak efektif,” pungkas politisi PDIP itu.
Sekedar diketahui, merujuk Pasal 39 ayat 1 memang tidak menyebutkan penyelenggaraan program restrukturisasi menggunakan APBN. Namun UU tersebut mengamanatkan penggunaan restrukturisasi bank sistemik menggunakan instrument lain. Ayat 1 menyebutkan, “Dana penyelenggaraan program restrukturisasi perbankan berasal dari: a. pemegang saham Bank atau pihak lain berupa tambahan modal dan/atau perubahan utang tertentu menjadi modal; b. hasil pengelolaan aset dan kewajiban yang berasal dari aset dan kewajiban bank yang ditangani; c.kontribusi industry perbankan; dan/atau d. pinjaman yang diperoleh Lembaga Penjamin Simpanan dari pihak lain”.
(Kongres Advokat Indonesia)