Ketimbang Montesquieu, rasanya Trias Politica yang diterapkan Indonesia lebih kepada John Locke, tendensi Perancis kuno dengan paradigma Judisialisasi Politik yang kental Judicial Activism, yudikatif sebagai anak tiri eksekutif, sebagai gantinya adalah federative, urusan luar negeri.
Advokat mesti membangun inisiatif untuk mengambil peran dalam upaya penguatan Yudikatif, meski tidak memiliki tempat ataupun belum mendapat pengakuan yang semestinya namun tidak boleh patah arang dalam implementasi langkah pengembanan hukum / rechtsbeoefening menurut Bernard Arief Sidharta, konsisten dengan fungsi kekuasaan kehakiman.
Sebab, bilamana tidak maka tentu akan semakin mengakar pendapat Friedmann mengenai teori hukum sosiologis empirik sebagai akar dan embrio dari norma yang dibuat untuk membuat sebuah tatanan yang disepakati, norma resultante, dan ini berkaitan erat dengan “the only game in town” menurut Linz and Stepan. (Problems of democratic transition and consolidation. Baltimore: Johns Hopkins University Press. 1996, hal. 5)
Kiranya, perlu juga kita Advokat melakukan introspeksi kenapa sulit sekali untuk diakui, selain dari kedudukan dalam ketatanegaraan juga sangat bisa jadi oleh sebab karakter kita sendiri, kita yang berbeda maka kita yang mestinya bijak dan tenang, jangan bersikap pokrol.
Penyesatan Publik
Setiap ketentuan yang ada sebelum lahirnya UU No. 18/2003 Tentang Advokat mestinya menghormati dan mengikuti paradigma dan maxim bahwa hukum yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan hukum yang lama (lex prior), ini logika hukum dasar sederhana sekali, penyanggah mestilah arogan atau malah belum memiliki kompetensi yang cukup untuk mengemban hukum.
Entah sejak kapan, kenapa dan bagaimana sehingga sentimen terhadap Advokat sangat mengakar dalam doktrin hukum, terutama di Indonesia. Meski harus diakui penyesatan bisa jadi muncul sebab karakter pokrol yang masih saja ada, sehingga arus kriminalisasi bisa dipastikan bakal pukul rata sepertinya menjadi agenda politik hukum secara praksis untuk menarik perhatian masyarakat awam, dalam Bahasa keperdataan disebut “schijnhandeling” (permainan dengan maksud tertentu).
Patut diperhatikan, jika Advokat harus memberikan kesaksian atas klien atau hal yang berhubungan dengan klien, artinya rekan penegak hukum memaksa Advokat untuk melakukan pelanggaran etik dalam membuka rahasia.
Perbuatan pemberian kesaksian dari Advokat itu dianggap malpraktik, kecuali jika menurut Advokat memang tindakan diam itu justeru bertentangan dengan nuraninya, dan jika jelas diketahui sendiri bahwa kliennya bersalah atau beritikad tidak baik, maka baru berlaku asas inkuisitorial yang mana Advokat berkewajiban demi keadilan.
Dengan catatan bahwa kesaksiannya itu merupakan faktor utama sebagai bagian penting dari fakta hukum, selain itu maka hakikatnya masuk dalam area not to inforce (wilayah untuk tidak dipaksakan) yang tidak boleh diungkap.
Jika Advokat diasumsikan sebagai saksi maka keterangan itu sifatnya circumstantial evidence atau bukti tidak langsung sekedar pelengkap atau tambahan atau bukti lain yang mendukung bukti yang telah diajukan dalam persidangan, sekedar penguat (corroborating evidence).
Fungsionaris Kekuasaan Kehakiman
Menjadi keliru jika mindset Obstruction of Justice (OoJ) selalu dikaitkan dengan Contempt of Court (CoC), sebab mayoritas terjadi pada level proses hulu peradilan, Advokat secara yuridis memegang amanat fungsi kekuasaan kehakiman, pasal 38 UURI No. 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasannya, juga sebagai petugas persidangan yang mengawasi tindak CoC oleh siapapun.
Maka OoJ di ranah “fungsionaris kekuasaan kehakiman” berada pada wilayah etik, dan fungsi kekuasaan Yudikatif dapat benar-benar lepas dari kekuasaan lain yang mencoba intrusi.
Sebetulnya tindakan overspanning (praktik hukum yang berlebihan) juga merupakan OoJ, rekayasa bukti atau fabricated of evidence atau fake evidence, dan hal ini tidak hanya menjadi monopoli dan stigmatisasi terhadap Advokat saja.
Bahkan, Pledooi juga merupakan tuntutan yang tidak boleh dihalang-halangi sebab merupakan bagian proses peradilan yang sah terhadap objek, subjek dan perkara namun dengan sudut pandang yang berbeda.
Pemeriksaan atas perkara adalah juga hak daripada Advokat, mengingat bahwa proses persidangan menganut prinsip non-self incrimination dan pressumption of innocence maka teknis beracara Advokat tidak boleh diintervensi, jangan pula pihak lain menganggap bahwa pembuktian atau teknik beracaranya sudah benar, kecuali sekedar pengaturan keseragaman institusional saja.
Etik Dan Peradilan
Hukum Acara Pidana dalam implementasinya, secara naif mendekati konsep “king can do not wrong”, dimana kekuasaan raja itu sangat absolut sebagai pemegang kedaulatan (princep legibus solutus est).
Mindset unformitas (seragam) menjadi alasan untuk keluar dari prinsip hukum sebagai batasan kekuasaan, melagilisir tindakan pemerintah (meski baik) yang cacat hukum (onrechtmatig) atau tidak sah menjadi boleh.
Kekhawatiran terbesar adalah bahwa hukum pidana menjadi all embrace act atau all purpose law, makna kepentingan negara dipersempit menjadi kepentingan pemerintah, bukan negara secara luas.
Bukanlah hal yang berlebihan ketika Prof. Aswanto, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Hasanuddin menyebut, “hukum semata-mata dijadikan sebagai instrumentalia oleh penguasa”. Perumusan pidana tanpa menyesuaikan dengan asas-asas pidana umum hanya menciptakan pintu kriminalisasi.
Subjek yang terikat sumpah profesi (bukan sumpah jabatan) bukanlah adressat norm pidana umum, secara prosedural melalui dewan etik/kehormatan untuk pembebasan dari profesi – sebagai natuurlijk persoon – untuk menjadi urusan publik, tidak serta-merta diproses pidana, malah hasil sidang etik bisa membantu proses peradilan.
Terhadap profesi diperlukan proses naturalisasi melalui sidang etik untuk dilepas sebagai natuurlijk persoon dalam sidang umum, jika tidak maka proses hukum lainnya terkait dugaan perbuatan atas nama pribadi (oknum) dianggap premature, karena profesi Advokat terhalang sebagai adressat norm pidana sebagai subjek bebas selaku orang atau natuurlijk persoon.
Hukum Tata Negara Adalah Nama Lain Politik
Secara kelembagaan, kekuasaan kehakiman harus mandiri dan dilepaskan dari segala intervensi dan pengaruh kekuasaan lainnya. Bahkan secara politik, harus tegas dipisahkan dari cabang kekuasaan negara yang lain agar ada keseimbangan (check and balance) dalam sistem politik.
Dalam konteks tata negara, infrastruktur dari sistem dan politik hukum memerlukan penguatan secara sistemik dalam tubuh yudisial, dimana para penegak hukum harus memahami posisinya adalah exclave dari yudikatif.
Harus dipahami bahwa hukum bukanlah produk politik melainkan UU, sedangkan produk hukum berada dalam domain yudikatif berupa putusan atas implementasi UU dan politik hukum, sehingga jelas bahwa apapun produk politik apalagi dalam bentuk peraturan per-UU-an harus melewati uji terapan oleh yudikatif.
Salah satu pengertian OoJ dari laman Cornell Law Education, bahwa penghalang keadilan secara luas mengacu pada tindakan oleh individu yang secara tidak sah mencegah atau mempengaruhi hasil dari suatu proses pemerintahan.
Sayangnya, catatan sejarah mengenai gangguan dalam proses peradilan yang mencakup semua cabang pemerintahan mempunyai target tendensius yang menyematkan label penghalang kepada Advokat, kambing hitam tatanegara.
Faktanya, konteks peristiwa hukum tergantung kepada mood daripada penegak hukum untuk dibawa kemana arahnya, bukan kepada pemahaman atas norma perundang-undangan.
Berkaitan dengan politik hukum pemerintah (eksekutif), ini bukan lagi otokratik legism tapi jelas juristokrasi totalitarian. Sehingga, oknum penegak hukum dalam banyak celah kesempatan membusungkan dada sebagai alat perekayasa hukum atas suatu aktivitas sosial-etik yang wajar.
Penghalang Tugas Kenegaraan Advokat
Penghalang utama dalam legal reasoning terletak pada pola pikir bahwa argumentasi Advokat dianggap tidak lebih dari sekedar permainan kata belaka. Dalam perkembangannya, penghalang dominan karena politisasi hukum.
Mestinya, keyakinan sosial etik harus dirangkai dalam argumentasi yuridis agar objektif, dan menjadi penafsiran yuridis yang tepat untuk menyanggah argumentasi Advokat – bukan pokrol.
Bagir Manan dalam suatu kesempatan mengatakan, “Advokat merupakan pekerjaan yang disebut beroep, yakni pekerjaan profesional yang berdasarkan keahlian di bidang hukum yang diikat oleh aturan tingkah laku dan kode etik profesi”. [Bagir Manan, 2009, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian, Asosiasi Advokat Indonesia, Jakarta, hlm. 282]
Linear, Daniel S. Lev dalam studium generale [ulangtahun ke-6 PSHK Indonesia, 2004] mengatakan bahwa ada kesepakatan bahwa dalam berpolitik boleh menganggu yang lain, tapi tidak boleh menganggu hukum.
Seringkali, logika hukum menjadi logika sempit institusional by institution, lebih dominan dan memaksa ketimbang logika sistem berdasarkan risalah pembentukan UU (memorie van toelichting/MvT).
Advokat adalah salah satu unsur dalam sistem penegakan hukum yang memiliki posisi penting, untuk mendorong perubahan sikap Aparat Penegak Hukum dalam setiap tingkat peradilan. Dalam fungsi kekuasaan kehakiman harusnya penyelenggaraan dan pengaturannya menjadi ranah yudikatif.
Buat penulis, penting rasanya meresapi pendapat Mr. S.M. Amin sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman, “Tugas sebenarnya dari seorang Advokat adalah membantu hakim mencari kebenaran.” [Abdurrahman, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, Cendana Press, Jakarta, 1983., hlm. 211]
Penulis bangga, Kongres Advokat Indonesia membangun peradaban hukum dan yudisial, melaksanakan peningkatan kapasitas manusia di bidang hukum, penguatan yudikatif, bukan bussiness as usual.
*Adv. Agung Pramono, SH, CIL.