Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah berpendapat bahwa penyelenggaraan financial technology atau fintech selayaknya memang sudah harus diatur dengan regulasi yang lebih kuat, yakni undang-undang.
Hal ini mengingat banyaknya risiko atau bahaya dibalik kemudahan-kemudahan yang ditawarkan fintech. Sebagai contoh, dia menyebut risiko yang ditanggung konsumen dari pemanfaatan layanan pinjaman online (pinjol), terutama dari pinjol ilegal. Pinjol yang ilegal tidak terdaftar dan tidak diawasi sehingga sangat berpotensi melakukan tindak kejahatan, seperti penipuan.
“Pinjol yang seharusnya bermanfaat ternyata dalam banyak kasus menjadi sangat meresahkan. Pinjol yang meresahkan utamanya adalah pinjol ilegal,” kata Pieter, ketika dihubungi Bisnis, Minggu (12/12/2021).
Oleh karena itu, menurutnya, penguatan pengawasan penyelenggaraan fintech perlu segera dilakukan untuk. Salah satunya melalui pembentukan undang-undang yang mengatur mengenai fintech. “Jadi fintech harus benar-benar diregulasi. Yang paling kuat dalam bentuk undang-undang,” katanya.
Dia menuturkan, undang-undang terkait fintech harus mengatur poin-poin yang terkait dengan pengembangan dan pemanfaatan fintech, termasuk pengawasan dan sanksi. “Dalam undang-undang itu harus ditegaskan bagaimana sebuah fintech diatur dan diawasi.
Siapa yang mengatur dan siapa yang mengawasi. Bagaimana pegawasan dilakukan, apa sanksi yang melanggar, dan seterusnya,” tuturnya.
Adapun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pemerintah bersama DPR tengah menyusun rancangan undang-undang untuk pengembangan dan penguatan sektor keuangan yang di dalamnya juga akan mengatur mengenai fintech.
RUU tersebut akan memuat mengenai definisi dan ruang lingkup fintech, badan hukum penyelenggara fintech, pengaturan dan pengawasan fintech, perizinan asosiasi fintech, hingga perlindungan konsumen.
Selain itu, istilah fintech juga akan diusulkan untuk diubah menjadi inovasi teknologi sektor keuangan agar bisa mencakup kegiatan di dalam industri yang cukup luas. “Bank itu diatur secara kuat, rigid. Fintech itu growing aja. Ini menimbulkan uneven playing field, jadi ini sesuatu yang perlu dilihat.
Ini dengan kelincahannya dan regulasi yang very light touch atau bahkan absent, jadi growing luar biasa. Namun, kemudian menimbulkan ekses, entah ke konsumen, data hilang, dipakai atau dibajak atau dieskploitasi, money laundering,” ujar Sri Mulyani dalam gelaran Indonesia Fintech Summit 2021, Sabtu (11/12/2021).
Dia berharap dalam proses penyusunan RUU tersebut para pelaku usaha fintech dapat secara aktif melakukan komunikasi dan memberikan masukan agar kebijakan yang dibentuk nantinya dapat mengakomodasi perkembangan fintech dengan perubahan yang sangat dinamis dan cepat.
“Jadi kami lihat ini sesuatu yang luar biasa dinamis. Regulasinya harus seperti apa agar inovasi dinamikanya mereka tidak terkurangi, namun eksesnya bisa mulai kita address,” katanya. BISNIS