Kompas.com – Dalam draf RUU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, terdapat pasal 16 A yang menegaskan bentuk hukuman bagi anak/remaja yang terlibat dalam aksi terorisme. Hal tersebut bisa dilihat sebagai upaya antisipasi yang baik terkait potensi pelibatan anak dan remaja oleh kelompok-kelompok radikal.
Menurut Setara Institute, beberapa hasil studi menunjukkan bahwa virus radikalisme telah menyasar kalangan remaja di bawah usia 18 tahun. Berdasarkan data penelitian Setara Institute pada 2015, 1 dari 14 siswa SMA di Jakarta dan Bandung setuju dengan gerakan ISIS.
Meski begitu, Setara Institute mengingatkan bahwa proses peradilan atas tindak pidana terorisme yang melibatkan anak atau remaja harus tetap tunduk pada sistem peradilan anak. “Jika tidak ingin terlihat represif, harus ada mekanisme penanganan apabila terduga terorisnya adalah remaja,” ujar Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos, saat ditemui di kantornya, Jakarta, Kamis (3/3/2016).
Selain itu Bonar juga mengatakan bahwa fenomena ketertarikan remaja belasan tahun terhadap gerakan terorisme harus menjadi peringatan bagi pemerintah untuk menyiapkan strategi deradikalisasi yang lebih efektif.
Pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada revisi UU Antiterorisme, tapi juga pada upaya mencegah radikalisme. “Jangan sekedar revisi tapi harus ada strategi. Dalam RUU ini tidak terlihat hal itu. Bagaimana sesungguhnya pemerintah mencegah radikalisme?” ucapnya.
(Kongres Advokat Indonesia)