Liputan6.com, Jakarta – DPR telah resmi mensahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK. Pakar hukum Abdul Fickar Hadjar mengatakan, hal itu diinisiasi DPR karena termotivasi dari banyaknya legislator yang terjerat kasus korupsi.
Menurut Fickar, selama KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT), tangkapan terbesarnya adalah para anggota legislatif. Dari 432 OTT KPK, sebanyak 205 kasus melibatkan legislator.
“Itu yang saya kira secara sosiologis membuat atau memotivasi para legislator untuk mengubah undang-undang KPK,” katanya di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu 18 September 2109.
Fickar menampik bahwa lolosnya revisi UU KPK tanpa keterlibatan presiden. Menurutnya, presiden memiliki peran yang sentral dalam hal ini.
Hal itu dilihat dari cepatnya presiden mengeluarkan Surat Perintah Presiden (Supres) yakni hanya dalam tempo dua hari. Padahal menurut Fickar, presiden mempunyai waktu selama 60 hari.
“Jadi bisa melihat gitu ada kolaborasi antara DPR dengan pemerintah ini untuk mengubah Undang-Undang KPK,” jelasnya.
“Kalau nanti ada koruptor di dua wilayah itu (DPR dan Pemerintah) kita lihat nanti,” tegas Fickar.
Sementara itu, Direktur Pusako Universitas Andalas, Feri Amsari menilai lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) idealnya dimasukkan ke dalam konstitusi. Hal ini agar terjadi mekanisme yang sulit untuk mengubahnya.
“Lembaga independen yang kuat itu dia tidak bisa diubah dengan mekanisme pembuatan undang-undang biasa. (Sedangkan) KPK tiap tahun diancam,” kata Feri di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (18/9/2019).
Lembaga independen yang kuat, kata Feri merupakan prasyarat dari konsep pembagian kekuasaan jenis baru yang berbeda dari trias politica ala Montesquieu.
Sedangkan KPK, menurut Feri, jauh dari kata lembaga independen yang kuat. Hal itu bisa dilihat dari para anggota KPK yang belum dipersenjatai. Padahal, kata Feri, kasus yang dihadapi bukanlah kasus sembarangan.
“Mau menangkap mafia cita-citanya, tapi kewenangan atau dipersenjatai tidak ada. Bagaimana bisa dianggap kuat?,” jelas Feri.
Feri menjelaskan, keberadaan KPK pada dasarnya muncul dari suasana kebatinan masyarakat yang tidak menaruh kepercayaan pada lembaga penegak hukum lain.
“Jadi KPK itu keinginannya mencoba melengkapi kekurangan dari lembaga-lembaga hukum konvensional,” katanya.
Feri mengakui memang anggota KPK bukanlah orang yang sempurna. Mereka juga masih memiliki kelemahan. Namun kelemahan itu, bukan berarti menafsirkan sebagai kesalahan kelembagaan KPK.
“Sehingga lembaganya perlu kewenangan yang dikurangi,” ucapnya.
Baca Juga : Pakar Hukum Tata Negara: Revisi UU untuk Penguatan KPK