AKURAT.CO, Sebanyak 30 lembaga atau Pusat Kajian Hukum dan Antikorupsi Perguruan Tinggi seluruh Indonesia menyatakan keberatan dan menolak perubahan Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pernyataan ini kemudian dituangkan dalam nota keberatan yang rencananya diserahkan kepada Presiden Joko Widodo. Sementara deklarasi penolakan mengambil tempat di di Kantor Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Turut hadir dalam acara tersebut, Ketua KPK Agus Rahardjo beserta para aktivis pemberantasan korupsi dari beberapa beberapa perguruan tinggi.
Direktur Advokasi Pukat UGM, Oce Madrel mengatakan ada beberapa poin yang membuat revisi UU KPK ini cacat dari beberapa sisi. Seperti bagaimana penyusunannya yang ‘senyap’ atau terkesan sembunyi-sembunyi.
Oce menyebut bahwa berdasar UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembahasan sebuah RUU harus dimulai dengan tahap perencanaan. Yakni, melalui Program Legislasi Nasional dan prioritas tahunan DPR.
“Kalau kita lihat dari sisi proses dan prosedur, RUU ini memang disembunyikan dari publik dan kemudian disusun dengan cara sembunyi-sembunyi, entah oleh siapa. Karena tidak masuk dalam dokumen Program Legislasi Nasional dan daftar prioritas RUU yang akan dibahas tahun 2019,” kata Oce.
Dugaan itu menguat kala pihaknya melihat proses penyusunan RUU yang sedemikian panjangnya bisa selesai dalam waktu singkat. Perlu ada diskusi mengenai inventarisasi masalah yang harusnya muncul kala RUU sudah dibahas, kemudian proses dengar pendapat fraksi dan seterusnya.
“Sangat tidak mungkin semua prosedur ini dilalui oleh DPR dalam masa waktu sampai akhir September,” kata dia.
Lebih jauh, dia menilai bahwa materi RUU KPK disusun dengan cara sesat pikir. Lantaran, pasal per pasal yang ditawarkan sama sekali tidak menjawab kebutuhan KPK dewasa ini. Isinya pun cenderung melumpuhkan, bukan menguatkan.
“Satu contohnya, KPK tak lagi menjadi lembaga independen,” kata dia.
Padahal, penegakan hukum korupsi ini selalu berkaitan dengan orang-orang yang punya jabatan dan kekuasaan. Sehingga, malah membuka celah untuk diintervensi.
“KPK juga tak lagi independen secara kewenangan karena contohnya untuk melakukan penyadapan harus mendapat izin,” katanya.
Meski hal itu telah diatur secara konstitusi dan dalam Putusan MK Nomor 12 Tahun 2006, telah disepakati bersama, termasuk DPR, jika cara ini adalah yang paling cocok untuk membongkar serious crime.
Belum lagi soal pembentukan dewan pengawas KPK. Ini makin membatasi ruang gerak lembaga antirasuah dalam suatu kekuasaan politik.
“Oleh karena itu kami tuntut bahwa ada 30 lembaga pusat Pusat Kajian Hukum dan Antikorupsi Perguruan Tinggi seluruh Indonesia yang menyatakan penolakan terhadap materi-materi tersebut, termasuk tata cara yang menyalahi peraturan, kami akan mengirimkan surat pernyataan kami ke Bapak Presiden Joko Widodo,” tuturnya.
“Kami punya harapan, sesuai janji politik presiden di dalam kampanye Pilpres 2014 dan 2019 bahwa presiden akan memperkuat KPK dan akan menghadirkan negara yang kuat untuk pemberantasan korupsi. Janji politik ini yang akan kami tagih bersama,” kata dia.
Tembusan surat ini diserahkan kepada KPK, melalui Agus Rahardjo. Adanya dukungan ini terhadap penolakan RUU KPK ini, juga membuat Agus terharu. Sementara nota keberatan ini sendiri rencananya dikirimkan melalui kantor pos.
Baca Juga : Menimbang Urgensi Dewan Pengawas KPK