Pakar Sebut Referendum Papua Mustahil di Hukum Internasional

Pakar Sebut Referendum Papua Mustahil di Hukum Internasional

Jakarta, CNN Indonesia — Tokoh separatis Papua, Benny Wenda, terus menggaungkan tuntutan referendum kemerdekaan dari Indonesia. Namun, pengamat menganggap referendum Papua tidak dimungkinkan dalam hukum internasional.

“Bukan hanya hukum nasional yang melarang referendum bagi Papua, melainkan juga hukum internasional,” ujar guru besar hukum internasional Universitas Diponegoro, Eddy Pratomo, kepada wartawan pekan lalu.

Eddy kemudian menjelaskan bahwa berdasarkan hukum internasional, referendum menentukan nasib sendiri hanya dapat dilakukan dalam konteks kolonialisme, atau wilayah terkait masuk dalam daftar Wilayah Perwalian dan Non-Pemerintahan-Sendiri yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa.

“Papua sudah jelas tidak bisa masuk dalam daftar tersebut karena sama saja seperti memasukkan bayi ke dalam rahim ibunya lagi. Tidak mungkin,” tutur Eddy.

Sementara itu, jika ditilik dari konteks kolonialisme, Papua sendiri sudah secara otomatis ikut merdeka dengan Indonesia ketika Sukarno membacakan proklamasi pada 17 Agustus 1945.

Menurut Eddy, Papua secara otomatis menjadi daerah kekuasaan Indonesia berdasarkan prinsip Uti Possidetis Juris. Ini adalah prinsip penetapan batas-batas negara yang baru merdeka dari penjajahan dengan memastikan wilayahnya kembali.

“Wilayah-wilayah koloni dulu itu kalau merdeka, itu harus wilayah yang batas-batasnya itu batas wilayah koloni, makanya Malaysia enggak masuk, Singapura enggak masuk, karena mereka bukan jajahan Belanda,” ucap Eddy.

Menegaskan maksudnya, Eddy kemudian menuturkan “Sehingga pada saat Indonesia merdeka, itu harus termasuk Irian Jaya, tidak boleh dipisah.”

Eddy lantas mematahkan argumen sejumlah pihak yang menyatakan bahwa Papua tidak pernah mengakui proklamasi 1945 dan tidak ikut dalam perjuangan kemerdekaan RI.

“Ini sangat mudah dipatahkan. Orang Batak, orang Padang, itu juga tidak pernah ada deklarasi mengakui proklamasi, tapi mereka bagian dari Indonesia berdasarkan prinsip Uti Possidetis Juris,” kata Eddy.

Ia juga mematahkan argumen bahwa Papua adalah bagian dari Belanda dengan nama Netherlands New Guinea berdasarkan konstitusi Negeri Kincir Angin pada 1898.

“Kami sudah meneliti, tidak ada yang menyebutkan itu dalam konstitusi 1898. Lagipula, Indonesia merdeka tahun 1945. Pada waktu Indonesia merdeka, konstitusi yang berlaku di Belanda itu konstitusi 1938. Pasal 1 konstitusi itu menyebut Kerajaan Belanda termasuk Indonesia, tidak ada khusus Papua,” ucap Eddy.

Eddy mengakui bahwa Belanda memang sempat memasukkan nama Netherlands New Guinea dalam konstitusi. Namun kemudian, Indonesia marah hingga akhirnya pihak internasional datang untuk menengahi.

“Kemudian konstitusi itu dihapus pada 1963 karena ada Kesepakatan New York 1962,” tutur Eddy.

Berlandaskan kesepakatan tersebut, Indonesia juga diwajibkan menggelar referendum yang dikenal dengan nama Penentuan Pendapat Rakyat Papua (Pepera).

Meski banyak dugaan kecurangan, hasil Pepera menunjukkan warga Papua ingin bergabung dengan Indonesia.

Baca Juga : Aktivis Hukum : Ini Sebabnya Revisi UU KPK Harus Dilawan

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024