investor.id – Problem hukum pembayaran kembali (restitusi) pajak mencuat kembali. Kasus terbaru diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menetapkan petinggi PT WAE dan empat orang dari unsur penyelenggara negara dalam kasus dugaan suap restitusi pajak perseroan pada 2015 dan 2016. Proses hukum pengembalian kerap dipersoalkan karena menimbulkan masalah hukum.
Pengusaha sebagai wajib pajak (WP) pasti butuh waktu cepat serta kemudahan administrasi dalam segala urusan administrasi, termasuk pajak. Namun, kondisi demikian tidak sepenuhnya diperoleh. Kelambatan serta ketidakpastian menjadi ruang bagi oknum melakukan pelanggaran hukum. Padahal, Presiden Joko Widodo berulang kali menyampaikan agar birokrat bekerja cepat, memberi kemudahan dalam pelayanan administrasi publik, khususnya kepada dunia usaha sebagai penggerak motor ekonomi nasional dengan tetap dalam koridor hukum yang berlaku.
Boleh jadi, kasus restitusi PT WAE menimbulkan perdebatan yang mempersoalkan dan ‘menuduh’ salah satu pihak yang memulai deal-deal tidak sehat, sampai nantinya proses hukum berakhir di Pengadilan Tipikor. Dari kasus itu, penulis hendak mengulas pada dua persoalan bagaimana menakar hukum restitusi pajak, serta langkah yang mungkin menjadi jalan keluarnya.
Gejolak Restitusi
Ketika WP menjalankan bisnisnya, kelebihan pajak yang menjadi hak WP tentu menjadi lumrah sepanjang telah memenuhi aturan yang diatur dalam UU. Gejolak restitusi yang semakin besar memberi sinyal positif perekonomian terus bergerak akibat aktifnya bisnis dijalankan.
Di sisi lain, WP berharap kelebihan pajak dapat sesegera mungkin dikembalikan. Dalam bisnis, konsep time value of money selalu jadi acuan. Namun, apa yang terjadi? Proses hukum pengembalian seakan dinilai tidak tepat lagi karena kerap terjadi kasus. Kasus restitusi PT WAE yang menjalankan bisnis dealer mobil mewah seperti Jaguar, Land Rover dan Bentley, patut disayangkan. Gejolak maraknya restitusi yang berakhir dengan kasus, berakibat kerugian bagi bisnis yang sedang berjalan, juga kerugian bagi pemerintah sendiri. Padahal lembaga restitusi sudah berjalan lebih dari 36 tahun sejak UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) No 8/1983 diberlakukan. Gejolak ini memberi sinyal betapa Pemerintah perlu mengkaji ulang.
Restitusi seakan dinilai menjadi hambatan bagi bisnis yang memerlukan kebutuhan dana cepat dari kelebihan pajak yang dibayar sebagai penguatan cash flow perusahaan. Cukup banyak hambatan serta argumentasi hukum yang penulis alami di lapangan saat menangani restitusi baik di tingkat awal hingga di tingkat Pengadilan Pajak untuk memperoleh kepastian dan keadilannya yang memerlukan waktu relatif panjang, paling tidak selama tiga tahun. Sungguh suatu pemborosan waktu di tengah persaingan yang terjadi dewasa ini. Indahnya tataran aturan di atas kertas, belum tentu indah pada tataran implementasi lapangan. Karenanya, tepat jika dikatakan Satjipto, dikutip Sudjono (1983), tentang perlunya menggambarkan hadirnya hukum dalam pembangunan yang mengiringi proses perubahan masyarakat.
Hukum yang memiliki watak keterbukaan berupaya mengatasi gejolak atau guncangan rumusan norma hukum. Contoh, norma Pasal 17 UUKUP yang mengatur batas waktu pengembalian 12 bulan, menurut penulis tidak tepat. Karena belum mendukung arus perubahan yang menghendaki bisnis bergerak cepat.
Seperti yang sering didengungkan Presiden Joko Widodo di dalam pertemuan dengan kalangan dunia usaha, seperti Kadin, Hipmi, maupun Apindo. Padahal kepentingan hukum mesti mengikuti perubahan di masyarakat (baca: masyarakat bisnis) yang sangat cepat dalam era persaingan global dan perkembangan teknologi informasi.
Seper ti dikatakan Soerjono (1982), tidak ada masyarakat yang statis atau mandeg. Oleh karenanya, melihat gejala demikian, maka pemaknaan hukum (hukum pajak) mestinya tidak dimaknai sebagai aturan UU semata tetapi dimaknai sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi di tengah dinamika perubahan lingkungan.
Kasus restitusi menjadi gejala sekaligus gejolak betapa hokum amat diperlukan guna menyelesaikan keadaan demikian. Kalau begitu, pertanyaan filosofisnya, mengapa lembaga restitusi tidak dihapuskan saja dalam UU pajak? Negara butuh dana pajak, bukan mekanisme hukum pengembalian kelebihan pajak.
Langkah Cepat
Terkuaknya kasus restitusi PT WAE bisa dimaknai sebagai kasus suap atau kasus pemerasan, tergantung dari hasil pemeriksaan KPK. Keadilan memberikan hukuman pihak yang bersalah, menjadi argument hukum para pihak supaya hakim punya alasan kuat saat memutuskan kasusnya.
Biarlah penyelesaian kasus hokum restitusi PT WAE diselesaikan KPK. Yang hendak penulis kemukakan adalah bagaimana mencari solusi agar tidak terulang kasus yang sama. Pemerintah mesti mengambil langkah cepat dan konkret menuntaskan persoalan hukum restitusi.
Menakar hukum berkaitan dengan restitusi pajak menjadi kajian penting, tidak boleh ditunda. Penilaiannya mesti dituju pada tataran filosofis hubungan pajak dan negara, bukan kasus. Argumen hokum Pound barangkali patut dipahami pada makna teori law as a tool of social engineering, sebagai langkah progresif. Pemahaman mudahnya, hokum (baca: hukum pajak) tidak boleh dibiarkan mengawang dalam konsep logis-analitis atau ungkapan teknik yuridis yang terlalu eksklusif. Hukum mesti didaratkan di dunia nyata, dunia sosial yang penuh sesak dengan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.
Kepentingan negara menjadi kepentingan utama menilai pajak. Kepentingan negara juga ditujukan sebagai penjaga kepentingan sosial masyarakat. Kepentingan itulah yang mengartikan pada kepentingan umum, yang bisa diwujudkan melalui pungutan pajak.
Pemahaman kepentingan pajak dimaknai sebagai pemahaman keseimbangan kepentingan yakni kepentingan umum, sosial maupun kepentingan pribadi. Merosotnya moral masyarakat seperti korupsi, kasus suap restitusi adalah kepentingan sosial yang tidak boleh dibiarkan seperti dimaksud Pound (Bernard L.Tanya, 2010).
Kalau begitu, menakar hokum restitusi menjadi pembelajaran penting pengambil kebijakan bidang perpajakan. Gerak cepat sangat dinantikan agar sinergitas antara wajib pajak dengan otoritas fiskus dapat berjalan efektif, baik dalam pemenuhan hak wajib pajak maupun dalam melaksanakan kewajibannya.
Perlu kita renungkan bersama bahwa restitusi pada hakikatnya merupakan hak yang melekat bagi wajib pajak dan sekaligus kewajiban bagi fiskus untuk melakukan proses pengembalian dengan tetap berpegang pada aturan yang berlaku.
Keseimbangan hak dan kewajiban antara wajib pajak dengan fiskus dengan itikad baik dalam rangka membangun bangsa dan Negara merupakan cita-cita kita bersama. Jika dalam implementasi di lapangan terdapat hambatan dan kendala perlu segera dicarikan solusi cepat dan transparan dengan selalu berpegang teguh pada koridor hokum dan itikad baik.
Perubahan hukum keberadaan lembaga restitusi sesegera mungkin mesti dicari solusi tepat, agar tidak terulang kasus-kasus yang dapat merugikan pengusaha yang notabene merugikan ekonomi nasional pada akhirnya.
Boleh jadi, barangkali itu bagian dari tugas utama Presiden Jokowi menata ulang (reform) lembaga restitusi dalam UU pajak di masa kepemimpinan periode ke dua ini. Semoga.
Wirawan B. Ilyas, Advokat, Akuntan Publik, Dosen Progam Studi Magister Akuntansi Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta
Baca Juga : Sri Mulyani Sentil Soal Penegakan Hukum Pasar Modal