JAKARTA, KOMPAS.com — Pada Sabtu (27/7/2019) Bupati Kudus Muhammad Tamzil ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK).
Tamzil menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap pengisian jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus. Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan mengatakan, tuntutan hukuman mati dapat dikenakan terhadap Tamzil karena sudah dua kali terjerat kasus korupsi.
Kendati demikian, KPK akan mempertimbangkan lebih jauh ancaman hukuman mati terhadap M Tamzil.
Walaupun Tamzil sudah dua kali terjerat kasus korupsi, KPK perlu mempertimbangkan sejumlah hal lain di luar itu.
“Nanti kami perhitungkan ulang, keterlibatan dia ini benar-benar sampai di mana, dan nanti yang memastikan bukan satu-dua, kami semua ramai-ramai dulu (memastikan),” kata Basaria, saat ditemui di Gedung Pusdiklat Kemensetneg, Cilandak, Jakarta Selatan, Minggu (28/7/2019).
Lalu bagaimana implementasi hukuman mati bagi koruptor?
Menurut pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, ketentuan pidana mati termuat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2 Ayat (1) berbunyi sebagai berikut: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 2 Ayat (2) berbunyi sebagai berikut: Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Abdul menyatakan, dalam memahami pidana mati terhadap koruptor, patut melihat penjelasan frasa “keadaan tertentu”.
“Ancaman hukuman mati terhadap koruptor yang memenuhi kondisi atau syarat ‘keadaan tertentu’ yaitu bila korupsi dilakukan pada saat negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang, korupsi pada saat bencana alam, korupsi pada saat krisis moneter dan sebagai pengulangan tindak pidana korupsi,” kata Abdul kepada Kompas.com, Minggu (28/7/2019) malam.
Karena diatur pada Pasal 2, lanjut Fickar, ketentuan pidana mati hanya berlaku sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1), yaitu perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
“Karena ketentuan hukuman mati bagi korupsi yang hanya berlaku bagi para koruptor yang merugikan keuangan negara, sedangkan bagi korupsi yang dilakukan dengan menerima suap, gratifikasi tidak terkena ancaman hukuman mati,” kata Abdul.
Lantas bagaimana dengan rekam jejak M Tamzil yang mengulangi tindak pidana korupsi? Abdul kembali menegaskan, kriteria “pengulangan tindak pidana korupsi” tidak serta-merta dapat digunakan untuk menjatuhkan pidana mati bagi koruptor.
Tamzil memang sebelumnya sempat mendekam di penjara karena dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus untuk tahun anggaran 2004.
“Nah, bagaimana dengan residivis pengulangan korupsi karena suap? Maka pemberatannya dilakukan berdasarkan KUHP dengan penambahan pidana sepertiga tidak melebihi pidana yang terberat. Kembali lagi korupsi yang merugikan keuangan negara saja. Korupsi lainnya suap, gratifikasi yang diterima penyelenggara negara tidak bisa diancam hukuman mati,” ucapnya.
Dalam kasus ini, Tamzil diduga meminta meminta staf khususnya, Agus Soeranto, mencarikan uang sebesar Rp 250 juta untuk menutupi utang pribadinya.
Bersama ajudan Tamzil, Uka Wisnu Sejati, Soeranto pada akhirnya memutuskan meminta uang ke Plt Sekretaris Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Kudus Akhmad Sofyan.
Sofyan meminta tolong Uka agar membantu kariernya dan istrinya. Akan tetapi, Sofyan mengaku tidak sanggup memberikan uang sebanyak itu.
Namun, belakangan Sofyan akhirnya memberikan uang itu kepada Uka pada Jumat (26/7/2019). Singkat cerita, uang yang dibungkus dalam goodie bag tersebut tiba di ruang kerja Tamzil.
Di sana, Soeranto memerintahkan Norman, ajudan Tamzil lainnya, melunasi pembayaran cicilan mobil milik Tamzil menggunakan uang pemberian Sofyan.
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Abdul menyatakan, dalam memahami pidana mati terhadap koruptor, patut melihat penjelasan frasa “keadaan tertentu”. “Ancaman hukuman mati terhadap koruptor yang memenuhi kondisi atau syarat ‘keadaan tertentu’ yaitu bila korupsi dilakukan pada saat negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang, korupsi pada saat bencana alam, korupsi pada saat krisis moneter dan sebagai pengulangan tindak pidana korupsi,” kata Abdul kepada Kompas.com, Minggu (28/7/2019) malam.
Karena diatur pada Pasal 2, lanjut Fickar, ketentuan pidana mati hanya berlaku sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1), yaitu perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
“Karena ketentuan hukuman mati bagi korupsi yang hanya berlaku bagi para koruptor yang merugikan keuangan negara, sedangkan bagi korupsi yang dilakukan dengan menerima suap, gratifikasi tidak terkena ancaman hukuman mati,” kata Abdul.
Lantas bagaimana dengan rekam jejak M Tamzil yang mengulangi tindak pidana korupsi? Abdul kembali menegaskan, kriteria “pengulangan tindak pidana korupsi” tidak serta-merta dapat digunakan untuk menjatuhkan pidana mati bagi koruptor.
Tamzil memang sebelumnya sempat mendekam di penjara karena dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus untuk tahun anggaran 2004.
“Nah, bagaimana dengan residivis pengulangan korupsi karena suap? Maka pemberatannya dilakukan berdasarkan KUHP dengan penambahan pidana sepertiga tidak melebihi pidana yang terberat. Kembali lagi korupsi yang merugikan keuangan negara saja. Korupsi lainnya suap, gratifikasi yang diterima penyelenggara negara tidak bisa diancam hukuman mati,” ucapnya
Dalam kasus ini, Tamzil diduga meminta meminta staf khususnya, Agus Soeranto, mencarikan uang sebesar Rp 250 juta untuk menutupi utang pribadinya.
Bersama ajudan Tamzil, Uka Wisnu Sejati, Soeranto pada akhirnya memutuskan meminta uang ke Plt Sekretaris Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Kudus Akhmad Sofyan.
Sofyan meminta tolong Uka agar membantu kariernya dan istrinya. Akan tetapi, Sofyan mengaku tidak sanggup memberikan uang sebanyak itu.
Namun, belakangan Sofyan akhirnya memberikan uang itu kepada Uka pada Jumat (26/7/2019). Singkat cerita, uang yang dibungkus dalam goodie bag tersebut tiba di ruang kerja Tamzil.
Di sana, Soeranto memerintahkan Norman, ajudan Tamzil lainnya, melunasi pembayaran cicilan mobil milik Tamzil menggunakan uang pemberian Sofyan.
Baca Juga : Kuasa Hukum Novel Kritisi Pembentukan Tim Teknis